Sunday, July 22, 2012

Peluncuran Website PCNU Sleman


SLEMAN (KRjogja.com) – Sejumlah tokoh hadiri launching website Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sleman, di Asram Galeri Jalan Pandega Rini Kentungan, Minggu (22/7). Hadir antaralain anggota DPD RI Drs HA Hafidh Asrom MM, Ketua Tanfidziyah PCNU Sleman KH Nurjamil Dimyati, dan toko NU Muslimin Hamid.
Acara juga diikuti utusan dari Badan Otonom (Banom) di lingkungan PCNU Sleman, dan utusan dari 17 Majelis Wakil Cabang (MWC) NU dari 17 kecamatan se-Sleman.

Usai launching websita PCNU Sleman, dilanjutkan Deklarasi Jurnalis NU serta pendidikan jurnalistik bagi para kader NU. Pemateri diklat antara lain Wapemred KR/pimpinan KR News Room Drs H Ahmad Lutfie, Redpel Minggu Pagi Daryanto Widagdo, dan Redaktur KR H Chaidir. Diklat akan diakhiri buka puasa bersama. (Fie)/pcnusleman

Tuesday, June 5, 2012

Hari yang Kurang Baik untuk Menikah Menurut Islam dan Jawa

            I.  PENDAHULUAN
Dalam kehidupan orang jawa, segala sesuatunya berdasarkan tatanan yang ada. Mengikuti jejak leluhurnya dalam segala hal kehidupannya. Diantaranya adalah tentang hari-hari yang baik dan buruk untuk menentukan hari disaat akan ada hajat, terlebih dalam hal pernikahan.

Tak hanya pemikiran jawa saja yang menggunakan prinsip penghitungan hari untuk menentukan hari dalam peringatan tertentu. Di dalam agama islam juga dianjurkan untuk mengikuti tatanan yang telah ada demi kebaikan dan kelancaran berlangsungnya acara tersebut. Dengan adanya kelancaran acara tersebut, diharapkan pula ke depannya juga tetap lancar saja, sehingga dapat tercapai kehidupan yang baik.

Adapun yang lebih spesifik dalam hal ini yakni kesamaan antara penentuan hari baik dan buruk dalam sosial masyarakat jawa dengan islam. Dalam hal ini memberikan gambaran kapan-kapan saja waktu yang sebaiknya dihindari untuk melangsungkan pernikahan menurut pemikiran jawa dan islam.
Mengapa jawa dan islam, dikarenakan kedua kubu ini memiliki banyak kesamaan dalam hal pemikiran-pemikiran dan hakikatnya. Sehingga tidak jauh berbeda dalam hal perhitungan kapan-kapan saja waktu yang baik dan buruk itu, khususnya di sini dalam hal menentukan hari baik buruk dalam pernikahan.
Dengan ini mengharapkan dapat diambilnya pengetahuan tentang relevansi antara budaya islam dan jawa dalam menentukan hari baik ataupun buruk untuk menentukan hari pernikahan. Keduanya sama baik karena mengharapkan adanya kebaikan dari jalan yang diambil.


II.                KAJIAN TEORI
Perkawinan dengan pernikahan merupakan salah satu fase kehidupan manusia dari masa remaja ke dalam masa berkeluarga. Peristiwa ini sangatlah penting dalam proses hidup manusia di dunia ini. Sehingga perkawinan tersebut juga disebut sebagai taraf kehidupan baru bagi manusia.
Dalam pandangan hidup orang jawa dan islam, pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral, sehingga tidak sembarangan dalam pelaksanaannya. Selain itu juga diharapkan pelaksanaannya hanya sekali seumur hidupnya. Kesakralannya tersebut dalam jawa dan islam dalam pemikirannya menjadi sangat selektif sekali dalam penentuan harinya, dengan harapan jika pelaksanaanya pada hari baik, maka akan baik untuk seterusnya.

Di dalam kitab Betaljemur Adammkana karya R.Soemodidjojo juga disebutkan bagaimana dan kapan saja untuk menentukan hari baik dalam pernikahan. Hal ini juga tak bedanya dengan islam. Di dalam kitab Qurratul ‘Uyun karya Asy-Syekh Al-Imam Abu Muhammad juga dipaparkan beberapa hari dan bulan di mana baik dan kurang baik untuk menentukan hari pernikahan.
Kalau di dalam pemikiran jawa berasal dari ilmu titen, namun dalam islam ada yang memang hal tersebut disebutkan dalam hadits, sehingga umat islam menaati hal tersebut. Hal tersebut karena mereka yakin bahwa apa yang telah menjadi ucapan Rasulullah adalah benar.

Di dalam ngilmu titen, dahulu para nenek moyang menggunakan cara dengan mengenali kejadian-kejadian buruk yang berhubungan dengan hari, tanggal, bulan dan tahun.


III.             PEMBAHASAN
Dalam pandangan hidup  masyarakat jawa, memilih hari baik untuk melaksanakan pernikahan adalah sangat penting. Karena bagi mereka, ketika memilih hari baik tersebut, diharapkan kehidupan setelah pernikahan juga berlangsung dengan baik. Untuk memilih hari baik (dan pada dasarnya semua hari adalah baik, sehinggapengertian memiih hari baik di sini lebih kepada kesesuaian waktu dengan pengguna waktu) pada upacara perkawinan, dengan menggunakan Kalender Jawa Sultan Agungan, pertama kali yang dilakukan adalah menghindari hari yang tidak baik, diantaranya adalah :
A.    Hari Naas Keluarga
1.      Hari dan pasaran meninggalnya (geblage) orang tua dari calon pengantin.
2.      Jika orangtua masih hidup semua, maka yang dihindari adalah hari wafatnya (geblage) kakek nenek dari orang tua calon penganten.
3.      Hari dan pasaran meninggalnya saudara kandung calon pengantin apabila ada.

B.     Hari tidak Baik di Dalam Bulan
1.      Bulan jumadilakir, rejeb dan ruwah hari rabu, kamis dan jum’at
2.      Bulan puasa, syawal, dan dulkaidah hari jum’at, sabtu dan minggu
3.      Bulan besar, sura dan sapar, hari senin, selasa, sabtu dan minggu
4.      Bulan mulud, bakdamulut dan jumadilawal hari senin, selasa, rabu dan kamis

C.    Tanggal tidak Baik di Dalam Bulan
1.      Bulan sura tanggal 6, 11 dan 18
2.      Bulan sapar tanggal 1, 10 dan 20
3.      Bulan mulud tanggal 1, 8, 10, 15 dan 20
4.      Bulan bakdamulud tanggal 10, 12, 20, dan 28
5.      Bulan jumadilawal tanggal 1, 10, 11 dan 28
6.      Bulan jumadilakhir tanggal 10, 14 dan 18
7.      Bulan rejeb tanggal 2, 13, 14, 18 dan 27
8.      Bulan ruwah tanggal 4, 12, 13, 26, dan 28
9.      Bulan pasa tanggal 7, 9, 20 dan 24
10.  Bulan syawal tanggal 2, 10 dan 20
11.  Bulan dulkaidah tanggal 2, 9, 13, 22 dan 28
12.  Bulan besar tanggal 6, 10, 12 dan 20

Sedangkan di dalam kitab Qurratul ‘uyun disebutkan bahwasannya menikah yang baik adalah di bulan syawal dan disunahkan dibulan romadhon seperti hadits riwayat sayyidah ‘aisyah r.a yang artinya :
“rasulullah saw menikah dengan saya pada bulan syawal dan memasuki nikah juga pada bulan syawal, maka siapakah istri-istri rasulullah yang lebih utama bagi beliau daripada saya? Kemudian sayyidah ‘aisyah menyunahkan memasuki njikah dengan wanita-wanita pada bulan syawal. Dan rasulullah saw menyunahkan nikah pada bulan ramadhan.”
Dan juga dalam tiap bulan untuk meninggalkan hari rabu di akhirnya. Demikian juga dengan tanggal 3, 5, 13, 16, 21, 24 dan 25 dalam tiap bulannya, hal ini terdapat pula dalam jami’us shaghir. Teruntuk hari rabu mengapa tidak disarankan, karena hari tersebut terhitung hari apes.

Selain itu juga disarankan untuk menghindari hari sabtu, karena hari sabtu merupakan hari besar orang yahudi.
Melihat dari sedikit keterangan tersebut diatas nampak adanya keselarasan antara islam dan petung jawa dalam perhitugan hari yag sebaiknya dihindari apabila hendak melangsungkan acara pernikahan. Ini merupakan salah satu bukti kehati-hatian dalam mempersiapkan sesuatu supaya hasilnya tidak mengecewakan. Dan harapannya dengan menghindari hal-hal yang disarankan untuk dihindari tersebut, akan baik untuk seterusnya.


IV.             PENUTUP
Dari berbagai paparan yang ada, dapat diambil kesimpulan bahwa adanya beberapa kesamaan hari yang sebainya dihindari untuk melaksanakan acara besar khususnya pernikahan. Dari kedua kitab tersebut yang banyak kesamaannya adalah himbauan untuk menjauhi hari rabu dan sabtuserta tanggal 13.
Dalam hal ini, orang islam di jawa, memang paling kuat menghindari hal yang sama dengan hitungan jawa tersebut, yakni menjauhi hari rabu dan sabtu serta tanggal 13, dalam prakteknya di masyarakat-pun begitu.

Meskipun begitu, masih banyaknya hal yang belum digali dalam pernyataan ini. Harapannya ke depan dapat menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dalam mengkaji hari dan tanggal yang sebaiknya dihindari untuk melaksanakan acara pernikahan antara petung jawa dan pendapat islam.
Layaknya gading tiada yang tak retak, seperti halnya tulisan ini tak luput dari salah. Kritik dan saran yang membangun sangat kami nantikan.


Bagi anda yang mencari pernik jogja atau busana muslim dan anak dengan harga terjangkau secara grosir, kunjungi kami di  Grosir Muslim Jogja

Bisnis syar'i bersama Ustadz Yusuf Mansur klik di sini

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sunarto. 1994. Berbulan Madu menurut Syariat Islam (Qurratul ‘Uyun) As-Syekh Al-Imam Abu Muhammad. Surabaya: Al-Hidayah
Kuswa Endah, 2009.Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa.Yogyakarta : Grafika Indah
http://margoncoy.wordpress.com/2008/06/16/primbon-hari-pernikahan/ diunduh pada 13 Mei 2012
http://aindra.blogspot.com/2007/09/perhitungan-jawa-untuk-perkawinan.html diunduh pada 13 Mei 2012


           

Saturday, April 28, 2012

Membaca Buku ‘Sekumpulan Sajak Pesantren’ bertitel “Jadzab”

Dua tahun lalu pertengahan Ramadhan saya ke sini, tepatnya mengikuti kawan-kawan Kutub (para santrinya almarhum Gus Zainal Arifin Thoha); Muhammadun AS, Salman Rusydie Anwar, A. Yusrianto Elga, di antaranya agak lupa siapa saja pengisi pelatihan kepenulisan di Lirboyo, setelah itu ziarah ke makam Gus Zainal. Mungkin sepuluh tahun lampau saya di sini sekadar ngopi, seperti ke pesantren lain menikmati alam damainya. Ini mengingatkan saya masuk Pon-Pes. Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang, dua belas tahun lewat, kala menghadap Mbah Mad (Kiai Ahmad Abdul Haq) disaat beliau masih sugeng. Ditanyalah, ‘Kenapa ke pesantren?’ ‘Ingin merasai hawa pesantren,’ ; jawab saya. Dan tiga minggu lalu, ke sana kembali untuk meresapi ketenangan tersebut.

Kini saya di hadapan saudara, khususnya para penulis buku Jadzab. Ibarat pohon jati usia muda, perlu banyak keringat memeras daya dalam kemarau panjang, serta mewaspadahi banjir terlena. Saya kira keilmuan lahir-batin saudara menapaki tangga kepastian, umpama tentara abadi siap kurbankan apa saja demi cita-cita. Hanya kelemahan bibit pohon jati kerap mengganggu batang asalnya, kecuali di lepas hijrah. Maka perlulah ditanam di ladang-ladang kembara berkesiapan membaja; sedari alunan kitab-kitab terbaca, susunan mutiara hikmah di kedalamannya, restu para guru, ketawadhuan, dialog badan kasar-halus pula jenjang kesadaran setiap muwajahah kepada-Nya, itu alam maha kaya dibandingkan keterpukauan saudara ke dunia luar.

Agar membo-membo ini di jalur keselamatan atau menghindari persamaan Iblis selanjutnya. Marilah baca Surah Pembuka kepada para nabi, para rasul, para sahabat nabi, para wali, para tentara di Perang Badar, para imam, para ‘ulama, para guru, pula para orang tua, dan seluruh umat Islam dari jaman Nabi Adam sampai tamatnya dunia, Al-Fatihah...
***

Suatu hari terkisahkan; Iblis yang biasa berbohong, berdusta serta perihal buruk lain, berkata jujur lantaran terpaksa. Cerita ini diriwayatkan Mu'adz bin Jabal ra., dari Ibnu Abbas ra., dan peristiwa itu disaksikan sahabat Nabi saw., yakni Umar bin Khattab ra. Hadits tersebut banyak ditulis para ulama, sedangkan yang saya cuplik sebagian nanti dari Ibnu 'Arabi dalam kitabnya "Hikayat Iblis," untuk membongkar antologi Jadzab, di mana saya membo-membo (berpura-pura) jadi Iblisnya.

Dikala memperkuat argumentasi, Iblis menunjukkan ayat-ayat di dalam al-Qur'an, misalnya mengabarkan firman Allah swt; Q.s. al-Hasyr: 16, Q.s al-Isra' :64, Q.s. al-Isra': 27. Olehnya, saya membawa ayat-ayat kitab suci demi mendalami kupasan semestinya yang terjadi,Innalillahiwainnailaihirojiun.

Ia datang sambil memberi salam, "Assalamu'alaika ya Muhammad, Assalamu'alaikum ya jamaa'atal-muslimin," kata iblis. Nabi saw. menjawab, "Assalamu lillah ya la'iin (Keselamatan hanya milik Allah wahai makhluk yang terkutuk). Saya mendengar engkau punya keperluan kepada kami. Apa keperluan tersebut wahai iblis?" "Wahai Muhammad, saya datang ke sini bukan karena kemauanku sendiri, tapi saya datang ke sini karena terpaksa," tutur iblis. "Apa yang membuatmu terpaksa harus datang ke sini wahai makhluk terkutuk?" tanya Rasulullah.

Iblis menjawab, "Telah datang kepadaku seorang malaikat yang diutus oleh Tuhan Yang Mahaagung, dimana utusan itu berkata kepadaku, 'Sesungguhnya Allah swt. memerintahmu untuk datang kepada Muhammad saw. sementara engkau adalah makhluk yang rendah dan hina. Engkau harus memberi tahu kepadanya, bagaimana engkau menggoda dan merekayasa anak-cucuk Adam, bagaimana engkau membujuk dan merayu mereka. Lalu engkau harus menjawab segala apa yang ditanyakan Muhammad dengan jujur. Maka dengan Kebesaran dan Keagungan Allah, jika engkau menjawabnya dengan bohong, sekalipun hanya sekali, sungguh engkau akan Allah jadikan debu yang bakal dihempaskan oleh angin kencang, dan musuh-musuhmu akan merasa senang.' Wahai Muhammad, maka sekarang saya datang kepadamu sebagaimana yang diperintahkan kepadaku. Maka tanyakan apa saja yang engkau inginkan. Kalau sampai saya tidak menjawabnya dengan jujur, maka musuh-musuhku akan merasa senang atas musibah yang bakal saya terima. Sementara tidak ada beban yang lebih berat bagiku daripada bersenangnya musuh-musuhku atas musibah yang menimpa diriku."

Lalu Rasulullah saw. melemparkan pertanyaan-pertanyaan ke Iblis. Di sini saya enggan melanjutkan hadits tersebut, saudara dapat mencarinya jikalau termasuk ahli ilmu, dan yang tak sekadar menanti-nanti datangnya laduny. Posisi saya kini, tidak lebih mengimbangi dalam membaca kemungkinan adanya terlepas atau mengurangi datangnya kecelakaan pihak pinafsir yang berangkat sedari pandangan sepihak, berkepentingan di luar kondisi 'Jadzab.'

Endosemen di buku itu saya sukai dari Ning Qurr; “Sebagian dari mutiara-mutiara dunia yang akan menyinari dunia dengan pantulan sinarnya, menembus cakrawala dengan keindahan kata dan keindahan pribadi nyata. Puisi ini adalah jeritan dan gambaran hati. Dan Allah-lah yang maha Tahu. Wallahu A'lam bishshowab.” (Ibu Nyai Lilik Qurrotul Ishaqiyah – Pengasuh Pon-Pes. Langitan). “Wallahu a'lam bish-shawab” menggetarkan saya!

Ada larik kata-kata membuat saya canggung membaca pengantarnya, "Membaca Ayat-Ayat Lepas" oleh Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum. tepatnya; "Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci." Saya yang sekadar lulusan MAN Denanyar, Jombang, terganggu ujaran melangit itu. Olehnya akan mengupas terlebih dulu, sebelum memasuki kumpulan puisi yang tentu secukupnya, agar tidak memakan banyak halaman. Secara ilmu mantiq, kata-kata Suwardi sangat meyakinkan sebagai awalan, namun agak bahaya bagi insan di luar lingkaran, yang bisa mendatangkan kedholiman. Lebih parah jika ada pengutip tak mengetahui atau sengaja tak ingin tahu jauh, sehingga keluar dari kedudukan yang semestinya.

Membaca seluruh paragraf awal muqaddimah Suwardi, sepertinya tiada masalah, tampak elok bersahaja di bidang yang digeluti; "Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci. Puisi yang diantologikan ini, semula adalah ayat-ayat lepas, namun dirangkai dalam sebuah ‘wadah emas’. Ayat-ayat itu akan mengingatkan detak hidup manusia yang kadang-kadang serakah, kosong, zina, dan bercanda tanpa makna. Puisi-puisi antologi ini mungkin akan menjadi seberkas jawaban ketika kita ragu mengarungi bentangan hidup."

Umpama mengguna asas universal pada fakultas hakikat, yang di kolong-kolong angkasa, lembah-lembah hayati, semua suci sedebur ombak lautan. Pun yang bertebaran di keseluruhan tujuh sab langit, segerak galaksi diteliti para ahli falak. Pula sebatang pohon; akar, serat, dan kulitnya, menanjaki batang berdahan, bercabang, meranting, membentuk daun berbuah, meski melewati penyangkokan awalnya ialah ayat suci. Tapi ketika sebuah jalur pengetahuan (puisi) mengerucutkan diri sebagai ayat suci, seolah menutup kesucian di belahan berbeda. Sejenis mengkultuskan sesuatu dengan abai perihal lain, sedangkan puisi turun di wilayah teks, yang wujudnya dapat dibaca serupa ayat-ayat suci firman-Nya.

Kemiripan wujud teks bisa saja menggelincirkan, mengira sama berkadar tingkatan terrendah atau turunan, yang memicu watak berbangga, terlepas dari kodratnya. Oleh sebabnya, Rasulullah saw. menggaritkan pembatas; “Sesungguhnya sebagian dari perkataan yang fasih itu ada sesuatu yang mempesona laksana sihir. Dan sesungguhnya sebagian dari sya’ir itu terdapat hikmah.” ini pantas didedah, agak tak lewar dari kesadarannya?

Saya petik kelanjutan hadits mengenai Iblis, "... Apabila (umat muslim) membaca al-Qur'an, maka saya akan meleleh (mencair) seperti timah yang dipanaskan dengan api. ..." ungkapan jujur Iblis kepada Nabi saw.

Lalu bandingkan dengan puisi yang bisa jadi menulisnya berkeadaan hadats besar / kecil. Mencangkok dahan pohon dengan nafsu menumpuk kekayaan demi kesenangan diri sendiri. Sedangkan kaum muslim sebelum memegang mushaf kitab suci membaca firman-Nya, diwajibkan berwudhu atau lepas dari hadats besar-kecil, pula adab mengagungkannya secara lain.

Memang Dr. Suwardi tidak menyebut kata-kata ‘firman-Nya,’ tapi puisi serta sebagian perilaku penyair muslim, kerap memanfaatkan ayat-ayat mutasyabihat di dalam menopang gagasannya, yang sering abai asbabun nuzul-nya. Seperti terurai di buku saya; "Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri" mengenai Surat Asy Syu’ara ayat 225-227. Pula temuan saya di atas melencengkan makna "Kun Fayakun" ke artian "Jadi, lantas jadilah! dan Jadi maka jadilah!" oleh SCB, yang sedang saya susun di dalam membaca salah satu esainya Ignas Kleden.

Bisa jadi para intelektual yang kurang pahami tradisi pesantren ajaran Islam, menganggap kata-kata 'ayat suci' seperti firman-Nya di larik itu. Sehingga jaraknya berlawanan dari ayat-ayat suci-Nya;

“(Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini) dalam hal kefasihan dan ketinggian paramasastranya (niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”) saling bantu-membantu. Ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan mereka, sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya (QS 8 al Anfal, 31): Kalau kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini (al-Qur’an). [Qs. al-Isra' (17): 88]

“(Dan Kami tidak mengajarkan kepadanya) yakni kepada Nabi saw. (tentang syair) ayat ini diturunkan sebagai sanggahan terhadap perkataan orang-orang kafir, karena mereka telah mengatakan, bahwa sesungguhnya al-Qur’an yang didatangkan olehnya adalah syair (dan bersyair itu tidak layak) tidak mudah, ada yang menyebut tidak pantas (baginya). (Al-Qur’an itu tiada lain) apa yang diturunkan kepadanya, tiada lain (hanyalah pelajaran) nasehat -peringatan- (dan Kitab yang memberi penerangan) yang menjelaskan tentang hukum-hukum dan lain-lainnya.” [Qs. Ya'sin [36]: 69).

Kritik ini, lantaran dua kata ‘memang’ dan ‘seperti’ dalam perkataan "Menyelami puisi memang seperti membaca ayat suci," memberi dorongan kuat memaknainya sebanding ayat suci firman Allah swt. Demikian membo-membo saya sebagai Abu Murrah (julukan Iblis). Kini, ke kumpulan sajak.
***

Agar sedikit adil pun persingkat waktu, saya telaah satu-persatu karya awal dari susunan tiap penulis puisi; pertama Usman Arrumy berjudul Titik, yang lain Bersama Hujan, Aku Mencintaimu, Untuk Robi’ah Adawiyah, Al-hallaj, Jumat, Gua Hira, Kembang, Jadzab, Karena Aku Wayang dan Kau Dalang, serta Pijar. Usman lahir 6 Februari 1990 di Demak. Sejak kecil dididik di lingkungan pesantren ayahnya (Pon-Pes Miftahul Ulum). Lalu mengembara di Pesantren Al-Ma'ruf Bandungsari, Grobogan, di Pesantren Fadhlul Wahid Ngangkruk, Grobogan, di Pesantren Al-fadlu, Kaliwungu, Kendal. Puisinya dimuat di beberapa majalah, dan sudah memiliki tiga antologi puisi tunggal.

Yang ditempa hidup nyantri dari pesantren satu ke satunya, mungkin sampai tua suka kembara, menuntut berkah para guru yang keilmuannya bersilsilah. Tidak sekadar di bangku madrasah, menghafal kitab, mendendangkan syair dalam kitab-kitab klasik karangan ‘ulama. Juga bertekun tirakat, membaca wengi, malam melarut di gelas kehidupan, suara bergegas hendak sholat, bercengkerama di makam-makam orang utama. Di antara memaknai kitab kuning berbahasa Jawa, membuat syair demi merekam tapak jejak hayatnya.

Sajak "Titik" saya suka kandungannya, bayangan Usman seakan disematkan ke kisah para ulama' pula nabi-nabi nan tertuang di dalamnya. Hanya kurang bersabar pemilihan kata, nada, penulisan huruf, yang itu bisa meningkatkan wibawa suatu karya. Mungkin perihal itu terikat jenjang usia, yang semoga nanti menemukan muara kebeningan didamba, kesantunan rahasia dengan pengudaran mewah. Di titik-titik persinggahan pribadi mengenal dunia, dilakoni merambahi detakan jantung memompa nafas, hingga seluruh kelenjar tubuh bekerja. Namun ada perih saya menyimaknya di sini:

Maka akulah kembara yang mengelana mengendarai titik
Dibawah huruf ba' menuju tuju pintu surga
Akulah yang mendamba kasroh menjadi perahu nuh
Yang kelak akan bersauh
Dan kepada miim aku melabuh
Akulah musafir yang hijrah
dari entah lalu mendiam dipasrah

Kala membaca sajak Titik, ada lelompatan mengasyikkan, sedebur ombak bersantapan cahaya, tetapi garam perasan peristiwa belum memutiara, ada yang terbang begitu saja. Dalam prosesi saya berkarya, tak malu merevisi jika dirasa perlu pun lebih sesuai meski sudah diterbitkan sebelumnya. Toh sebuah karya pantas atau berpeluang langgeng daripada usia pengguratnya, pula dipertanggungjawabkan di masa lama.

Karena perangainya melompat-lompat saya menduga; di larik terjumput itu kehendaknya melukis huruf-huruf Basmalah. Sayangnya, cepat dituntaskan sampai terasai perih dibuatnya; huruf ba' merupakan awal merendah 'andap ashor,' kebalikan dari huruf nun dapat dimaknai keangkuhan. Jika dilukisan antara dipangku titik, dan memangku titik. Ba' pengertiannya ke Bismillah, sedangkan kebalikannya huruf nun dilesatkan ke nar artinya api atau neraka.

Jika Usman bertabah mengudar huruf sin, diletakkan misalnya mensucikan Nama Allah; Subhanallah, sebentuk huruf aslinya seperti orang bermunajad, tentu kehadirannya lapang sebelum memasuki miim-nya Muhammad untuk menemui la-nya Lillahi ta'ala, sampai kepada miim-muakhir sang Nabi saw. Saat dibaca ulang, kembali ke huruf ba' sebagai pergumulan kasih sayang antara hamba dengan Sang Penciptannya; kasih-Nya pada seluruh makhluk, sayang-Nya ke segenap umat Muslim sampai akhir jaman. Miim kehadiran Rasulullah saw. dan miim pemberi syafaat bagi iman yang meski sebutir zarah. Rahmat ini bisa diudar menerus, sejumlah tingkatan pamahaman dalam jenjang diikhtiarkan, tentu atas kemurahan-Nya pengertian yang ditaburkan kepada golongan orang-orang di jalur mukhlis (laku murni).

Kedua; Devie Sarah Khan, nama pena dari Devi Maisarah. Lahir 23 Juni 1991 di Pesantren Buntet, Cirebon. Mahasiswi Fakultas Tarbiyah di IAIN Syekh Nurjati. Mulai menulis sejak di bangku Tsanawiyah. Tak hanya puisi buah penanya, beberapa cerpen dituangkannya. Salah satu redaksi kampus, dan dalam bidang kesenian banyak menuai prestasi. Sajak-sajaknya; Dunia “Akan”, Engkau Wahai Aku, Sedetik yang Beberapa Hari, Sekelebat Sesalan, Gulma Membunga, Sarkasme terhalus, Senja di Penghujung Oktober, Nyanyian Lampu Merah, dan Agama, Bukan Tanpa Cinta.

Dalam sajak “Dunia ‘Akan’,” saya menemukan corak abai, meski bangunan nalarnya bisa dikata lumayan. Terlihat kurangnya pembacaan ulang, hingga bentuk 'keluguan' penciptaan pertama tampak terang. Mungkin Devie, ingin menunjukkan keotentikan kilatan inspirasi awalnya dan menganggap sayang jika dirombak, atau terlalu percaya diri? Ataukah mengira suci pertemuan di alam puitik? Sampai tiada keberanian menempanya lagi sebangunan imbang kadarnya, yang secara fitri kelak mendapati peningkatan nilai -seyogyanya.

Bagi pekerja menanjaki wilayah sastra, harus rela menyingkap kandungan misteri kehadiran karya sampai sekedudukan nasibnya, seperti bersedekah tanpa pamrih di waktu tepat, atau menundukkan ego, demi kelanggengan ciptaan di alun-alun semestinya. Ketidakberanian memangkas, meringkus daya ciptaan, serupa batu berharga belum dibentuk, kala cahaya pembacaan tak memantul seterang kodratnya. Atau bebatuan mutiara lebih berharga jika dipahat berbilang sudut pandang oleh sang ahli bertekun siang-malam, meski kelak yang dikenal karyanya. Setidaknya pembuat untaian mutiara bahagia, menyaksikan kalung ciptaanya melingkari leher jenjang putri raja misalkan.

Ketiga; Amna Milladiyah, nama penanya Aam Amna. Lahir di Sidoarjo 3 September 1993. Menempuh pendidikan SD TPI, MTs Islamiyah, desa Inggir. Tamatan SMA NU Malang, yang kini belajar di PPSQ Asy-Syadzili. Kegemarannya menulis sejak sekolah dasar. Sajak-sajaknya; Dzikir Abadi, Sentuhan Kasih, Bahasa, Pemilik Rindu, Jejak-Jejak Sujud, Konser Musik, Aku dan Cahaya, Pelabuhan Rindu, Pusaran Bapak, dan sajak Ibu.

Komentar saya pada sajak “Dzikir Abadi;” terkadang bacaan meluas, serta pengalaman spiritual meresap, belum tentu mampu menuangkan dengan ketepatan bahasanya. Lebih parah cara membacanya keliru, tak paham yang sedang dibaca, atau tak mau bersuntuk-suntuk menggali makna yang terbaca lewat lelaku. Di sini saya kutip kata-kata pembuka dalam “Kitab Adab Al-Muridin,” karya Abu Al Najib Al Suhrawardi:

"...Setiap orang yang mencari sesuatu harus mengetahui esensi dan watak sejati apa yang dicarinya, sehingga keinginannya akan hal itu dapat terpenuhi. Tak seorang pun dapat mengetahui jalan para Sufi secara memadai hingga ia mengetahui keyakinan-keyakinan fundamental mereka, aturan-aturan tindakan mereka (adab), dan istilah-istilah teknis mereka. Karena besarnya jumlah pemalsu yang berpura-pura, keadaan Sufi sejati telah diabaikan. Namun, penyelewengan itu semestinya tidak meniadakan yang sejati."

Saya tambahkan untuk Amna; bersunyi-sunyi sangat penting, berdiam diri itu baik. Dengan kesendirian teramat hening, seluruh bacaan meresapi kalbu menuntun ke jalan dirindu.

Keempat; Sekar Aisha Nahdhia, lahir 2 Desember 1994, Cirebon. Ia dikenalkan dunia buku oleh bibinya. Alam pesantren melekati dirinya, membentuk religius unik. Ia terinspirasi gaya kepenulisan Leo Tolstoy, Vladimir Nabokov, begitu biografinya. Sajak-sajaknya; Secangkir Teh Kehidupan, Puisi kakak, Senja & Sehelai Padi, Dogma Petang & Sebutir Tomat, Satria, Padang Imajinasi.

Pada sajak “Secangkir Teh Kehidupan,” kesan saya; pengulangan kadang membosan, dan kata-kata mengumbar, meluncur tanpa penggendalian diri setiap kesadaran kata, melemahkan peristiwanya. Andai keadaan meminum teh diulang-ulang, lantas tiap pengulangan dicatat berkadar seksama, maka penumpukan catatan terjadi kian matang. Seperti berulangkali jatuh cedera, rasa berperbedaan tipis menentukan lelipatan menuju pengertian lembut. Mengangkat kebeningan tangkapan panca indera ke alam puitik, laksana lamur pepagi menghadiahi bulir embun di lengan, dedaun, pegunungan.

Hawa ketinggian, uap mengepul, aroma meyakinkan menyerapi persendian, kala pengulangan ditempatkan ke alur pembacaan. Maka selain percaya diri, pengoreksian wajib bagi berjiwa maju, misalkan sebuah sajak disuntuki satu bulan lebih, di bulan selanjutkan diperiksa lagi. Sebab bertemunya formulasi terbaik berangkat dari ketekunan menyimak selain produktivitas, sekiranya hasil dapat terketahui jauh kemudian, kalau benar bersuntuk mempelajari kehidupan. Pula kudu dilayarkan, lantaran kesaksian selalu meningkatkan nilai; barangkali saksi pertama, kedua, masih terselimuti warna melenakan.

Kelima; Mawar Merah nama penanya. Ia sebutir debu diberi kesempatan hinggap, di indah matamu. Kapan saja bisa kau sibak, kau hilangkan dari pandangan. Atau ada angin memaksaku enyah darimu, tapi… kesempatan untuk mampir di alismu, dan merasakan sejuknya terbasahi linangan air matamu ialah anugrah terhormat sedari sebuah debu. Pecinta kopi sejati, belajar hidup dari pahitnya, pengagum senja dan malam. Itu- biografinya, sangat percaya diri tak menyebut nama asli, samarannya pun tersamarkan. Mungkin ini gejala kembalinya jaman lampau, tersematnya istilah anonim, atau bisa dikatakan kebebasan pengarang, disaat memasuki masa kekinian. Nama sajak-sajaknya; Rintik Rindu di Kota Sayu, Menunggu Langit Bicara?, Takbir Subuh, Senja di Ujung Malam, dan Aku Rindu Kopimu.

Komentar singkat saya pada sajak “Rintik Rindu di Kota Sayu;” lumayan, tapi saya belum berminat mendalaminya. Jikalau karyanya sekelas penyair tanpa nama pada link berikut ini, mungkin saya agak tertarik http://sastra-indonesia.com/2010/03/penyair-tak-dikenal-dari-yugoslavia/

Keenam; Cahaya Langit, nama pena dari Nur Ilmiyah, kelahiran 27 Juli 1991. Pendidikan di MI NU Maudlu’ul Ulum, MTsN 2, MAN 1 Malang, yang kini di STAIN Bengkulu. Berharap karyanya sekarang bukan karya pertama sekaligus terakhir, tetapi lainnya segera menyusul. Judul sajak-sajaknya; Abu Perjalananku, Candu Ampunan, Senandung Retak Hamba, Lekat Mengingatmu dalam Hayat, Kabut Hitam Kehidupan, Telah Gelap Rinduku, dan Mengembara Makna.

Nama pena penulis ini serupa anonim, namun mendingan menghargai tapak hayatnya. Semoga dirinya memikirkan lebih matang sebuah nama atas karya selanjutnya. Atau takdir bakal terjadi di masa datang, oleh pilihan sekarang.

Pada sajak “Abu Perjalananku”, saya tak memberi kupasan apa-apa, hanya jika boleh berpesan; perbanyaklah baca, tidak hanya membaca diri sendiri, tidak hanya merasai hembusan angin hayati, namun jua tarikan nafas dunia kata-kata. Mungkin sesekali perlu mabuk baca berhari-hari, hingga berjam-jam dikemudian hari dalam sinahu lebih terang pandangan kala penyimakan. Juga menahan kantuk, membuang malas mengamati karya orang lain, sebab betapa tidakkan tahu tingkat kemajuan belajar tanpa berkaca kepada mereka.

Itu berulang-ulang ditingkatkan, ialah kesuntukan setahun bisa lebihi yang lehan-leha sepuluh tahun, senada makolah ini; “Istiqomah lebih mulia dari seribu karomah.” Hidup hanya sebentar, tanpa kesungguhan maksimal kan menyesal, sia-sia untuk beberapa masa tidak terhitung jumlah kerugiannya!

Ketujuh; Nurul Farida Wajdi, lahir 12 Mei 1992, Sleman, Yogyakarta. Menempuh pendidikan di ndalem Bapak Muh. Dawami 1997-1999. Pada tahun 1999 hingga kini di Masjid Ash-Sholihin, dan sejak 2007 di Ma’had Islamiy Sunan Kalijaga, serta dimulai 2011 di Darus-Shalihin. Semenjak kecil suka menulis, buku teenlitnya “Say No To Pacaran” (2009), naskah komik Pahlawan Nasional ‘K.H. Zainul Arifin’ dan ‘Sultan Hasanuddin’, kerjasama dengan G.Wu (2011). Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Jawa di UNY. Sajak-sajaknya; Eling Sliramu (Teringat Dirimu), Nalikaning Pajar (Ketika Fajar), Ibu (Ibu), Mungguh Wuyung (Tentang Rindu), Rama (Ayah), Ku Menerka, Aku Sadar, Marilah, Gadis Kecil, dan Si Mungil.

Membaca gurit “Eling Sliramu,” mengingatkan saya dimasa belajar kepada almarhum KRT. RPA. Suryanto Sastroatmodjo, di bawah pohon sawo kecik, Nagan Lor 21 Yogyakarta. Geguritan Farida lumayan memikat, namun perlu pilihan kata lebih lembut. Dalam penuturannya bisa dibilang rapi, tapi daya kesastrawiannya masih patut digali. Agar bencahnya menyubur merambahi khasana guritnya kian sumarah, sumekar laksana kuntum kembang melati mewangi, di sanding sendang hangat tirta dari pegunungan asri. Atau saya lihat ketegasan sang putri menapaki tangga Ilahi, semoga nan sumambrah dari ketinggian hakiki. Dan kelembutan bahasa sajaknya “Teringat Dirimu” sepantulan guritnya. Farida boleh memasukkan kosa kata bahasa Jawa ke sajak berbahasa Indonesia, kiranya menambahi bobot nuansa serupa kata ‘kemerlip’ di sana.

Delapan; Hasan ben Aly, asal Parengan, Lamongan 15 Oktober 1995. Sejak kecil tinggal di Pon-Pes. Nuur Al Anwar. Awal pendidikan di TK Muslimat, di Ibtida’iyah ketika pagi, siangnya di TPQ Manbauddalalah. Lulusan SMP Wahid Hasjim Parengan, lantas menekuni pelajaran pesantren. Menyukai dunia tulis saat baca puisi karangan K.H. Musthofa Bisri di majalah. Sajak-sajaknya;Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!, Tuhan, Buat Kamu, Suluk Seorang Bodoh, Khidir, dan sajak bertitel Di.

Membaca sajak “Semacam Perasaan Rindu Padamu Muh!,” pun tidak mendedahnya. Karena Hasan warga Lamongan, maka saya tak segan melancarkan masukan; cobalah suntuki karya Gus Mus yang kau sukai, kemana-mana dibawa, disimak berulang-ulang, sambil tubuh dimiringkan, tegak berdiri, tiduran, dengan posisi berlainan, kondisi berbeda di atas teks yang sama, tentu mendapati temuan lain dari sebelumnya.

Mencoba menulis sajak dikala hujan rintik, gerimis menderas, sebelum tidur, bangun malam, pagi buta, pagi kesiangan. Membunuh kantuk dengan celak, makan buah asam jika perlu, orang-orang terdahulu lebih berani menaburkan garam lautan di mata. Teruslah berkarya diwaktu bergairah, saat kemalasan mendera, bosan, buntu, basmi itu semua sampai batas-batas memungkinkan sadar atau lebih.

Menyimak alam membaca buku, jika ingin mendapatkan tidak percuma atau sedang saja; itu kesempatan sangat tipis, hanya lewat bersusah payah serba kekurangan, ilmu pengetahuan terserap dari pelbagai penjuru, seirama; Q.s 13: 11

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa pada diri mereka." Pegang Hadits diriwayatkan at-Tirmidzi dan Muslim, sedari Amru bin Maimun r.a.; “Rebutlah peluang lima perkara sebelum datang lima perkara; masa mudamu sebelum datangnya hari tua, masa sehatmu sebelum dilanda sakit, masa kayamu sebelum jatuh papa, masa lapangmu sebelum datangnya sibuk, dan waktu hidupmu sebelum datangnya kematian.”

Satu dua makolah sudah cukup bagi mempercayainya; itulah kelemahan umat Islam sekarang, tidak menempa keyakinannya sedalam penyelidikan!

Sembilan; Ella Ainayya, nama pena dari Ella Ainayya fz. Tinggal di Balekambang, Nalumsari, Jepara. Kegemarannya menulis sejak kecil, bermula dari coretan kata-kata yang dikumpulkan untuk dinikmati sendiri, dan orang-orang sekelilingnya. Kecintaan terhadap komunitas pesantren membuatnya ringan menyumbangkan sebagian karyanya di sini. Sajak-sajaknya; Tak Taunya aku, Simpang Jalan, Kau dan Rasamu, Pujimu Padaku, Semuamu, Berteman Gelisah dan Gunda, Aku Kamu dan Rasa Itu, Laki-Laki Soleh Itu, Dalam Maya, dan A Piece of  Remember.

Pada sajak “Tak Taunya Aku,” saya belum mendapati apa-apa; kata-kata puitik, nuansa puitis, pun peristiwa makna puitika nan menggugah. Jika biografi Ella tercatat menulis sejak kecil; sebelia apakah usianya kini? Sudahkan membaca puisi-puisi di majalah? Sajak-sajak ditulis pelajar Tsanawiyah, pula Aliyah? Meski saya telah dan terus baca karya-karya mendunia, masih suka baca puisi di majalah yang memuat karya anak Ibtidaiyah, misalkan di majalah Mimbar Pembangunan Agama (MPA). Pesan saya; kesungguhan ialah salah satu cara menghormati atau menghargai diri sendiri, sebelum datang yang lainnya!

Sepuluh; Ufi Ishbar Noval. Terlahir 6 Desember dari keluarga sederhana. Menghabiskan belajar VI tahun di Sekolah Arrisalah Kediri. Kegemarannya bersajak diawali menulis di Mading. Pernah jadi wartawan, Pimred majalah di sekolahnya, sejak itu kemampuannya terasah. Sajak-sajaknya;Aku Masih Manusia, Orang Pesisir, Karena Aku Masih Mencintaimu, Getir-Getir Peluh, danDemokrasi?

Meski sajak “Aku Masih Manusia” belum mapan, saya suka semangat pencariannya; upaya mengeduk dasar hening kemanusiaan, mendalami fitrohnya sebagai insan berpikir. Kesadaran terhadap bulan dan matahari, gunung pebukitan, sungai-sungai hempasan gelombang badai kemungkinan. Di atasnya, nalar puitika digerakkan berpijakan realitas, merasai tebal bayu menderui kencang menampar muka, hujan mencabik-cabik badan kesakitan.

Lewat resapan panca inderanya, manusia tangguh dimungkinkan hadir membelah samudra, mengendarai angin, mengebor kekayaan tambang kehidupan. Menyusupi cela-cela bebatuan terjal ketumpulan; jiwa-jiwa mandiri tak malu diperolok suara sebrang, terus belajar menggali kualitas kedirian hingga sumber mata air keluar selaksa pahala tak terduga. Sedang perasaan puas, merasa berhasil, aman sebagainya ialah musuh bebuyutan, patut digerus, dikendalikan, didorong memperlus kesadaran bacaan. Salam dari saya; teruslah berkarya, hidup cuman sementara, sedangkan karya-karya abadi, dinanti semua bangsa!

Sebelas; Ita Rosyidah Miskiyyah, gemar menulis sejak di bangku Sekolah Dasar. Menulis cerpen, esai dan puisi. Baginya, hujan selalu menghadirkan inspirasi, aroma tanah basahnya menyimpan makna. Hobinya menunggang kuda, menurutnya semua bisa dijadikan tulisan, selagi ada kemauan di hati. Antologi puisi pertamanya; “Menunggu Hatimu.” Begitu riwayat awalnya, dan sajak-sajaknya; Asa Membiru, Candu Ilmu, Cinta Atau Iba?, Kata Kita, Merindu Dalam Bisu, Ruang Hati, Senyummu Melerai Derai Rindu, Tersangkar Asmara,  Tiada Mungkin Tanpamu, dan Bukan Bagai Sosokmu.

Pun pada sajak "Asa Membiru" tidak mengupasnya, namun saya tertarik temuan dua kata di dalamnya; “punggung jantung.” Saya bayangkan Ita peroleh kata-kata itu kala mengendarai kuda, jantungnya berdebar di atas turangga. Di saat tapak langkah kuda berlari kencang, merasakan hentakan pengalaman puitik, peristiwa termaknai, diwakili bersitan kata-kata tersebut. Seperti ini patut digali, kesaksian murni menggugah kesadaran lain, ingatan kepada peristiwa sepadan, dimungkinkan mencipta kandungan berbeda dari penulis sajak lainnya.

Sajak bukan kumpulan kata puitik saja, tapi perlunya ikatan rasa penalaran dikandungnya. Misal berbicara senjakala; patut mengeduk warna, kondisi orang-orang dikala senja, bebayang dedaunan, corak tanahnya, perasaan pada anginnya, pesona matahari juga yang pantas dihidangkan bertepatan masa diinginkan.

Penggalian ini butuh kesuntukan, kepekatan indera, merasai perpindahan perasaan dari lingsirnya surya, detik-detik terekam, mata-mata menyimpan segenap direngkuhnya peroleh kepastian atas melesatnya daya penalaran ke jenjang penerimaan semua insan. Olehnya patas sebelum menggurat sesuatu, memegang ujung mula bayangan hendak ditangkap demi keseluruhan. Atau persiapan pemotretan penting, agar dapati hasil maksimal, bukan tempelan dicari-cari dari kondisi berbeda sejenis pengeditan berlebihan pada gambar yang sudah dihasilkan misalnya.

Dua belas; Nabila Munsyarihah, lahir di Jombang 27 Mei 1991, besar di Pon-Pes. Tambakberas, Jombang, dengan curahan kasih sayang dari Ibu Hj. Umdatul Choirot, Ayah H. Ach. Hasan. Tengah menempuh studi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, dan nyantri di Pon-Pes. Ali Maksum, Krapyak, Jogja. Titel sajak-sajaknya; Tanpa Sengaja Berdosa, A Voice, Peringatan Kesakitan Ibu, Sajak Untuk Mbah,  Rupa-Rupa Cinta, Tutur Ketiadaan, dan Musikalisasi Puisi.

Di sajak “Tanpa Sengaja Berdosa,” untuk kekurangannya saya abaikan dulu, mengenai bentuk tulisan dan dinaya lebih bisa dilahirkan dari sana. Suaranya protes terhadap tradisi dibalut alur ‘balada,’ teriakannya mengingatkan saya pada sosok Nawal El Saadawi, pula R.A. Kartini yang dikagumi Nabila; ia selantang keberadaan buku "Sebilik Mihrab" karya Lilik Qurrotul Ishaqiyah.

Serupa sajak protes lainnya yang dikejar tak hanya kata puitik, tapi peristiwa makna. Saya harap perkembangannya menanjak, membongkar kedirian, ke soal dihadapi, ditantang dengan pelbagai bacaan yang dikuasai; menyimak bersegenap penalaran, kepekaan rasa oleh menanggung harkat kamanusiaan -kaumnya.

Suatu makolah mengatakan, wanita adalah tiang negara. Jika perempuannya kokoh, tangguhlah tatanan pemerintah, sebaliknya lembek, bisa dibayangkan ambruk sebelum masanya. Dari mereka anak-anak bangsa dilahirkan, sejauh perhatian pada pendidikan, memperkuat penggalian di ladang kemakmuran. Namun fatal terjadi merongrong hati demi kepentingan sesaat; kalbu ibarat pemimpin condong penggeraknya, ialah kayu bakar kaum hawa, sanggup matangkan air, ataukah membakar seluruh kekayaan rumah tangga negara.

Tiga belas; Violet Angel, nama pena dari Laily Dzatinnuha, lahir di Surabaya, 31 Oktober 1986. Menjalani hidup di Pon-Pes. Langitan 12 tahun. Di dunia puisi diperkenalkan sang ibu, dan adik keduanya mendeklamasikan diberbagai even di pesantren. Mulai menulis kelas 2 MTsN Bahrul ‘Ulum, Tambak Beras, Jombang. Terlibat diberbagai media di Bahrul ‘Ulum, pada Pon-Pes. Manba’ussholihin, Suci, Manyar, Gresik, di komunitas kepenulisan saat di Kairo; SAMAS, SaPi, FLP Mesir, dan FLP Depok. Sajak-sajaknya; Hari dan Waktu, Pasang Gendang, Tuan!, Rasa dan Karsa, Mimpiku di Antara Kuasa-Mu, Curhatku Padamu, Di Suatu Malam, Inikah Malam?, danSimfoni Lautan Pasir.

Membaca "Hari dan Waktu" saya menikmatinya:
// Hari yang menjauh / Kini bersiap-siap melabuh / Lalu kembali ke pangkuan ibu // ; sajak ini tekun menyimak masa, sejauh misteri perputaran ke muasal penyebabnya. Ada olahan pikir di baris kesadaran sejarah, waktu kerap membentuk pelbagai rupa dan Violet Angel menemukan di antaranya.

// Waktu pun menyuram / Menunggu ketakpastian / Kapankah hari untuk pulang? / Bedug bertabuh / Bisik peluh memutar kelu / Lalu hari menyapa dengan senyum bisu // ; sajak soal waktu tak lepas kebisuan, kesuraman, penantian, pertanyaan, ngambang, menggantung, tanda hadirnya sesuatu masih terselubung. Waktu nan bisa lonjong, panjang, bulat, abstrak, kadang pelahan sealiran sungai, pula dihempaskan badai, sedaun-daun menguning malas. Pada angin pembawa waktu menentukan jatuhnya takdir, seranting patah ditelan arus, berlayar memunculkan hitungan matematis, filosofir, kimiawi, biologis, dan lain-lain se-Sunnatullah mengatur seluruh alam.

// Buku lima basah terbuka / Sambut tunduk sembah luka / Waktu menengadah cipta asa // ; catatan peristiwa, ingatan kehilafan, pantun hidup kemendadakan, ketidaksabaran mendatangi kecewa. Hari dibangkitkannya jiwa dari kemalasan, keras menghimpun tenaga demi menutupi kekurangan, dan doa-doa menaikan drajad insani ke gugusan kemilau. Lalu diperolehnya waktu semakin larut,

// Hari mulai menjauh / Sembunyi harap waktu menyendu / Usik karsa waktu ingin tahu // ; sekiranya kegaiban takdir atas tumpukan masa, ikatan usia merenggang-lepas, benang teramat halus digenggam jemari berhadap tidak luput sangkaan, praduka terhadap keilmuan.

// Pagi bagi waktu ia senja / Tanpa lambai tanpa sapa / Hari berlalu tanpa kata // ; semisal datang-pergi sama, kelahiran-kematian atau pagi dan senja; kelupaan menemui muara, kesadaran dapati muasalnya. Tiada siapa-siapa, sendiri dalam kebisuan nyata, beku dalam arus paling rahasia.

Empat belas; Nada Haroen, nama pena dari Qotrun Nada Haroen, kelahiran Temanggung 6 Juli 1992. Pernah di Pon-Pes Raudhatut Thulab, Tempuran, dan pelajar SMAN 1 Magelang. Selain menulis, semasa SMP menjuarai baca puisi tingkat propinsi dalam Pekan Seni Ma’arif Jawa Tengah, 2004. Kala dibangku SMA, cerpennya berjudul “Saat-saat Itu”, juara I Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional, diselenggerakan majalah KaWanku, 2009. Mahasiswi Teknik Informatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Kini berdomisili di Surabaya. Sajak-sajaknya; Gedung, Rumah dan Gubuk, Namun Kamu, Dusta, Kunang-Kunang Kau Ku Kenang, dan Percakapan Dua Manusia Lewat Saya.

Sajak “Gedung Rumah dan Gubuk,” menyuarakan kesenjangan sosial, kritik halus seperti memukul bertenaga dalam, dengan kesederhanaan kata. Sayang belum mengaduk soal-soal melingkupi kedalamannya, tetapi dari sketsanya bisa dimasuki berpenelusuran lebih, oleh kehalusannya merambahi alam nalar ke dunia puitika. Sisi lain, mengajak merenungi diri, serta kedirian mereka yang berada di gedung perkotaan. Sepilihan hidup sunyi di dalam menata masa depan, antara keramian langkah di kota; bait ketiga / terakhir.

Sedang bait kedua menampakkan kekuatan pamor metropolis menelanjangi para insan haus berharap, juga watak konsumtif mengeruk isi nurani hingga kosong haus kembali. Di bait awal, Nada Haroen mengudarkan alam nalar dengan perasaan, bentuknya terdapat pada pilihan kata 'gedung' dan 'kotak' menuju kata 'kota' serupa kata 'gedung' dan 'bulat' pada kata 'bulat-bulat.' Ini lumayan beresiko, tapi saya menyukai keberaniannya menentukan kata-kata.

Lima belas; Lizam Kafie, nama pena dari H. Izam Kafie, Mc. Kelahiran Grobogan, 21 Agustus 1982. Pernah nyantri di berbagai pesantren, kini pengajar di Pon-Pes. Salafiyah Al Marom Menduran, Purwodadi, Grobogan, Jawa tengah. Aktif ikuti seminar, halaqoh diniyyah, dan beberapa kali jadi juri musabaqoh seni, terutama kaligrafi anak-anak tk.Asia di Jeddah, KSA. Sajak-sajaknya;Kosong, Jati Diri, Pengantin, Kelana, Sendiri, Kedewasaan, Sahabat Angin, Muhasabah, Hikmah,dan sajak yang bertitel Cinta.

Pada sajak "Kosong", saya membaca Lizam masih dalam pencarian bentuk, atau belum pahami penuh alam puitika dengan capaian puitik. Penalarannya sebatas hitungan kasar, umpama tumpukan bebatuan bata durung dipoles sedinding keindahan rumah. Belum tampak wewarna terobosan, siratan cahaya, ada keterputusan di beberapa tempat. Namun saya yakin, jikalau berlatih keras menemukan kekhasan di kemudian hari, dalam menimbang ikhwal makna di sebalik kata antara kata, serta perasan materi-materi yang diunggahnya.

Enam belas; Azzqie Adawiyah, nama pena dari Azkiyah Nur Adawiyah, kelahiran Miji, Mojokerto 16 Juli 1989. Awal kegemarannya menulis dari memimpin redaksi di Asrama al-khodijiyyah Pon-Pes. Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Beberapa kali menerbitkan buku, serta mengisi kolom sastra di majalah sekolah dan pesantren. Sajak-sajaknya; Menggores Bayang Tetes, Seper Sembilan Puluh Sembilan, Suasana Duka Gerhana, Rindu Meruang, dan Yang Maha Sajak.

Di sajak “Menggores Bayang Tetes,” kehendaknya mengungkap misteri hayati; apakah dambaannya kelak seperti orang tuanya? Dengan bahasa lembut mengaburkan aku lirik, serta kisah kekasihnya kurang menonjol serupa monolog prosais. Tapi di balik itu saya temukan bibit unggul yang nantinya merambahi dunia esai, cerpen, novel, pula puisi panjang. Sejenis bersimpan dinaya melimpah, gairah berkesungguhan meluas, atau berbakat. Tentu wajib berlatih keseimbangan, menyimpan energi demi nafas ke depan, lewat tekun sinahu; ada wujud tak kurang dari impiannya. Maka, rawatlah kesangsian mengintriki jiwa, keraguan menderai rasa, waswas menggerogoti sukma, dan selalu meyakinkan perolehan dalam kesaksian di jalan kembara.

Tujuh belas; Awy' A. Qolawun, nama pena Alawy Aly Imran. Menghabiskan waktu dengan membaca-menulis; sekitar 30 buku (14 berbahasa Arab), beberapa di antaranya terbit secara nasional. Ratusan artikelnya di berbagai media, di samping kerap sebagai endorser. Kelahiran 16 Agustus 1983,  berasal dari Pon-Pes. Nurul Anwar, Parengan Lamongan. Koordinator staff FLP wilayah Saudi Arabia. Mengambil studi di Masyru’ Al-Maliky Lid Dirosah al-Ulya, Makkah. Begitu biografinya, dan sajak-sajaknya; Bisu dalam Deru, Ruang Suara Belulang, Tak Perlu Takut, Teriakan Bisu, Senyum Soreku.

Membaca sajak “Bisu dalam Deru,” komentar saya; sering bacaan meluas, referensi melimpah, serta keahlian merakit kata, kerap menganggap enteng kala menulisnya. Ini bisa fatal saat memasuki alam puisi, di mana kehadiran puitik sejati terpendam di dalamnya, kurang mengental semestinya. Kegiatan bersajak beda dengan menulis esai, cerpen, pun lainnya.

Dalam berpuisi, nan dituntut kepekaan ruhani menangkap peristiwa puitika, bukannya peristiwa dipuitikkan, atau diucapkan lewat kata-kata puitik yang bertumpuk-tumpuk. Namun peristiwa puisi muncul, dikala penulisnya total menerima keadaan, memasrahkan segenap kediriannya, dan atas lelaku itu diharapkan muncul bulir-bulir mata air kesadaran. Seperti tetesan air mata terhadap dosa-dosa, sesenggukan dalam kamar sempit mengisyafi keegoan.

Tepatnya alam puisi itu kesadaran jernih melewati saringan pikir perasaan dengan pertimbangan halus, selepas menggenggam soal atau masalah yang diungkap tinggal intisarinya.
***

Akhirnya, nggap buku ini pula buku-buku sebelum dan selanjutnya, sebagai kurban proses kreatif guna jenjang terbaik; hitung kerugian waktu, keluguan konyol, rasa malu di jalanan nantinya. Tiadalah faedah merawat bangga jika tergelincir lena, maka tingkatkan kesuntukan ribuan kali lipat daripada yang sudah. Karena memalukan jika tak sampai ke drajad dialog para imam, para ‘ulama tempo dulu, sang peletak dasar keilmuan dari al Kindi sampai Muhammad Iqbal misalnya. Tengok Ibnu Rusyd sangat rajin belajar, semenjak kecil hingga usianya tua, tiada waktu lowong membaca dan menyelidiki, kecuali dua malam saja; malam meninggal ayahnya, lalu malam pertama perkawinannya.

Wewaktu bertumpuk-tumpuk, padat penelitian, rapat merenung ulang, membaca tanda perubahan, menyimak nafas hayati, kepalan tekat atas kurban dilayarkan. Mengurangi istirah, memaksakan diri mencebur ke kawah candradimuka; pergumulan oleh paham-paham berbeda, bergulat berkecamuk pencarian, hingga tiba malaikat pencabut nyawa. Janganlah terlena kelebihan, tetapi manfaatkan sebagai tumbal di dalam kehidupan.

Ialah sedap maut demi pencarian ilmu; berilah ruangan itu darah setimpal, air mata sepadan, keringat mendidih bercucuran. Congkellah pepintu mata, benturkan kepala dari kemalasan, kepada kitab-kitab purna kedudukannya. Pesan singkat saya; jika tidak sungguh-sungguh, berhenti saja secepatnya!

Nurel Javissyarqi
Lamongan-Jombang-Lamongan,
Malam Jum'at Wage, 20 April 2012

*) Bahan bedah kumpulan sajak lintas pesantren “Jadzab”, terbitan Arias, tanggal 21 April 2012, di Gedung Aula Pasca Sarjana Institut Agama Islam Tribakti, Kediri.
**) Pernah nyantri di Pesantren Gebang Tinatar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Di antara karyanya “Balada-balada Takdir Terlalu Dini,” “Kitab Para Malaikat,” &ll.

Monday, April 9, 2012

Indahnya Islam dan jawa [1]

Islam adalah salah satu agama yang di dalam ajarannya banyak ajakan bijak untuk kehidupan sehari-hari. Hal ini adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat. beberapa istilah pendidikan dalam islam juga macam-macam. ada fiqih, aqidah, akhlak, dan lainnya.

Salah satu yang menarik dan membutuhkan perhatian ekstra pada saat ini adalah akhlak. betapa pendidikan akhlak pada masa globalisasi ini sangat tidak mendapat perhatian dari khalayak banyak. padahal akhlak memuat ajaran moral kepada manusia. esensi dari berbagai ilmu. namun nyatanya, krisis akhlak kini semakin merajalela.

Ajaran akhlak tidak melulu hanya dari Al-Quran dan Hadits. dalam karya sastra Jawa juga banyak ajarannya. meski memang mengambil dari Qur'an dan Hadits, namun tidak terlalu nampak ekstremis agama. Salah satu di antara karya tersebut adalah Serat Wulang Reh karya Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV yang ditulis sebelum meninggal.

Lalu bagaimana jika dikaitkan dengan pranata sosial? Pranata sendiri menurut Zoetmulder (2000:846) dalam  Kamus Jawa Kuna Indonesia Jilid 2 memiliki arti bersikap patuh, tunduk, hormat, ramah tamah. Namun dalam hal ini, pranata menjadi kata kerja, seiring berjalannya waktu, berubah menjadi kata benda yang memiliki makna peraturan atau tatanan yang harus dipatuhi.

Betapa sangat berhubungan sekali antara islam, pranata sosial dan Serat Wulang Reh ini. Yangmana islam memiliki tatanan ajaran yang wajib diikuti, dihormati dipatuhi sesuai pengertian pranata itu sendiri. Dan Serat Wulang Reh tersebut memuat ajaran-ajaran akhlak yang memang patut untuk diikuti karena apabila di dalami lagi, ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Serat Wulang Reh merupakan ajaaran islam.

Ajaran-ajaran akhlak yang disampaikan dalam Serat Wulang Reh oleh Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV ini sangatlah bagus untuk dikaji lebih. Apalagi karena banyaknya unsur-unsur ajaran islam dan berkiblat kepada ajaran islam. Hal tersebut dapat diketahui dari kata-kata yang digunakan dalam serat tersebut.
Untuk lebih lanjutnya, contoh kecil terdapat dalam pada 3 dan 4 pupuh dhandanggula dalam Serat Wulang Reh ini, yakni :

Jroning kuran nggoning rasa jati
Nanging ta pilih ingkang uninga
Kajaba lawan tuduhe
Nora kena den awur
Ing satemah nora pinanggih
Mundhak katalanjukan
Temah sasar susur
Yen sira ayun waskitha
Sampurnane badanira puniki
Sira anggegurua

Nanging yen sira nggeguru kaki
Amiliha manungsa kang nyata
Ingkang becik martabate
Sarta kang wruh ing ukum
Kang ngibadah sarta wirangi
Sokur oleh wong tapa
Ingkang wus amungkul
Tan mikir paweweh ing lyan
Iku pantes sira guranana kaki
Sartane kawruhana

Yang memiliki arti lepas :
Di dalam qur’an itu tempatnya (ilmu) rasa yang sejati (hakiki)
Tetapi hanya orang pilihan yang mengetahui
Kecuali dengan petunjuk orang yang mengetahui
(Al-Qur’an) tidak boleh dikira-kira (dalam penafsirannya)
Yang akhirnya tak ditemukan (makna hakiki)
Akhirnya terlanjur (salah dalam menafsirkannya)
Alih-alih malah kesasar
Jika engkau ingin mengetahui (tentang qur’an) dengan benar
Agar sempurnanya dirimu
Sebaiknya engkau berguru

Jika kamu hendak berguru
Pilihlah guru yang bermartabat baik
Dan mengerti akan hukum
Yang beribadah serta wira’i
Syukur kalau (engkau) mendapatkan (guru) yang ahli tapa (tirakat)
(Yang) tidak mengharapkan pemberian (dari) orang lain
(orang) yang seperti itulah (yang) pantas kau jadikan guru

Apabila diruntut dalam tiap gatranya, begitu banyak ajaran yang terkandung di dalamnya. Dari gatra yang berbunyi jroning kuran nggoning rasa jati telah memberikan keterangan bahwasannya Al-Qur’an yang merupakan kitab suci umat islam ini  tempatnya rasa jati, rasa yang hakiki. Bagaimana tidak, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisikan ilmu pengetahuan yang luar biasa agungnya. Semua ilmu ada di dalam Al-Qur’an. Dan ajaran-ajarannya memang mengajarkan rasa yang sejati, kepada sang hakiki, yakni ajaran dari Sang Haq untuk mencapai hidup dama sejahtera dan tentram dunia akhirat.

Nanging ta pilih ingkang uninga, yang artinya tetapi pilihlah yang (engkau ketahui). Mengapa harus begini? Bagaimana tidak, di dalam Al-Qur’an mengandung banyak ajaran-ajaran yang mana ada beberapa ajaran yang belum terurai maksud dari firman-Nya tersebut. Masih diperlukannya telaah atau biasa disebut dengan tafsir. Sedangkan untuk menafsirkan Al-Qur’an masih dibutuhkan pengetahuan yang lebih. Teruntuk orang yang masih ‘awam, sangatlah berbahaya apabila menafsirkan Al-Qur’an seenaknya sendiri sesuai kata hatinya.
Kajaba lawan tuduhe, dengan arti kecuali dengan petunjuk (dari orang yang mengetahui). Jadi untuk menafsirkan bagaimana ajaran yang terdapat di dalam Al-Qur’an tersebut membutuhkan seorang pembimbing, karen Qur’an nora kena den awur, yakni tidak boleh sembarangan di dalam menafsirkannya.

Dalam hal tersebut akan mengakibatkan ing satemah nora pinanggih, yakni tidak akan ditemukannya maksud secara penjelasan dari ajaran yang terdapat di dalam kitab suci tersebut. Sehingga banyak sekali kejadian mundhak katalanjukan, atau akhirnya terlanjur salah di dalam menafsirkannya. Salah secara porsi sedikit dan masih bisa dibenahi tidaklah mengapa. Namun bagaimana jika menadi temah sasar susur yang artinya alih-alih malah kesasar alias sesat.

Hal ini sangatlah banyak sekali fenomenanya pada masa sekarang ini. Orang sering belajar sendiri dan memahami sendiri makna dari kitab suci tersebut, akhirnya menjadi sasar dan timbulah beberapa macam aliran-aliran islam baru. Dan hal ini sangatlah meresahkan.

 Sehingga dilanjutkan dengan nasehat dalam gatra selanjutnya yaitu yen sira ayun waskitha, sampurnane ing badanira puniki, sira anggegurua. Dengan maksud apabila kamu ingin mengetahui isi sejati dari Al-Qur’an tersebut untuk menyempurnakan diri dalam artian bathiniah dan ibadah, maka disarankan untuk mencari guru.

Di manapun itu, seseorang yang belajar membutuhkan guru, terlebih dalam hal spiritual. Hal ini sangt diwajibkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Seseorang yang belajar tanpa guru diibaratkan belajar kepada syetan. Dan belajar kepada syetan pastilah akan disesatkan.
Hal ini tak dapat dipungkiri karena beberapa orang yang mengaku dia adalah utusan, nabi, waliyullah, dialah orang yang belajar tanpa guru. Belajar apapun itu, pastilah ada guru yang membimbing dan mengarahkan. Hal ini berlaku baik di pendidikan formal, non formal maupun in formal.

Dalam gatra selanjutnya juga telah diberikan nasehat bagaimana cara memilih guru yang baik. Seperti yang terdapat dalam gatra nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manungsa kang nyata. Yakni apabila kita ingin belajar sesuatu, hendaklah mencari guru yang nyata, guru yang baik dan menguasai bidang yang hendak kita gurukan. Jangan sampai salah guru. Semisal ngin belajar bahasa datang kepada guru matematika, sangat tidak sesuai.

Dan jangan melupakan dalam mencari guru itu hendaklah yang sarta kang wruh ing ukum, yakni mengetahui perihal hukum. Terlebih dalam ajaran agama, hendaklah mencari guru yang mengerti betul akan hukum. Karena tidaklah main-main dalam hal hukum ini, karena akibat keteledoran yang ditimbulkan berdampak besar dan sangsinya adalah dosa. Sangsi dosa mungkin tidaklah nampak, namun bagaimana jika masyarakat dan alam yang menghukum langsung? Sangat tidak diinginkan.
Sebagai contoh mereka yang mengaku nabi, tidaklah benar begitu adanya. Sangsi yang mereka dapatkan di dunia ini adalah hukuman penjara, dan bahkan tak ayal terkadang mendapat cibiran bahkan pukulan dari masyarakat yang tidak suka dengan apa yang dilakukannya.

Kriteria guru yang patut untuk kita berguru padanya adalah kang ngibadah sarta wirangi, yaitu mereka yang beribadah dan wira’i. Mencari seorang guru hendaknyalah mereka yang rajin dalam hal ibadah, karena dalam pupuh ini memuat ajaran agama terkhususkan pada ajaran agama islam. Mengapa ibadah? Karena di dalam islam sendiri ibadah adalah merupakan sarana seorang hamba mendekatkan diri kepada Tuhannya untuk mendapatkan rasa damai karena merasakan kasih sayang Tuhan di dalam hatinya.

Dan mengapa mencari seorang guru yang wira’i. Wira’i atau yang biasa disebut wara’ sendiri memiliki arti menjaga diri atau bersikap hati-hati dari hal yang syubhat (meragukan) dan meninggalkan yang haram. Seorang guru yang seperti itulah yang sangat luar biasa, karen akan berdampak sangat besar dalam hal kebaikan.

Selain hal tersebut, dalam mencari seorang guru juga diharapkan sokur oleh wong tapa, maksudnya adalah syukur-syukur mendapatkan guru yang ahli tapa, ahli tirakat. Karena guru yang ahli tirakat ini akan sangat menjaga diri dan hatinya dalam segala sesuatu. Dan orang yang seperti itulah patut untuk dijadikan tauladan, karena mereka mendekati pada insan kamil, yakni ingkang wus amungkul, yang sudah rajin atau bisa juga diistilahkan dalam islam istiqomah.

Guru yang dengan kriteria tersebut biasanya tan mikir pawewehing lyan, mereka tidaklah memikirkan pemberian dari orang lain. Dicontohkan mereka para kiyai yang mendidik santrinya, tidak pernah meminta santrinya untuk membayar kiyainya. Santri membayar bukanlah untuk membayar kiyai dan dzurriyahnya atau keturunannya. Namun uang dari santri tersebut dikembalikan kepada santri dalam acara haul, khataman, haflah dan lain sebagainya.

Kiyai yang nampak kaya dan santrinya banyak bukanlah dari uang santri, akan tetapi beliau-beliau ini memiliki usaha besar lainnya yang tidak banyak orang mengetahuinya.
Pada akhinya iku pantes sira guranana kaki, sartane kawruhana. Itulah pantas untuk dijadikan guru, ketahuilah semuanya. Begitulah ajaaran yang masuk dalam lingkup akhlak yang terdapat dalam Serat Wulang Reh pupuh Dhandanggula pada 3 dan 4.

Bagi orang yang berfikir tidak radiks dan fleksibel dalam menilai sesuatu hal dan menghukuminya, akan sangat menerima baik hal ini. Hal ini juga menyatakan bahwasannya antara islam dan jawa adalah memiliki banyak kesamaan. Dalam konsep pemikiran jawa, yang dicari adalah kesejahteraan hidup untuk mencapai kebahagiaan. Salah satu langkahnya adalah dengan mempelajari kitab suci tersebut.

Pun dalam islam juga telah ditegaskan sesiapa yang dengan baik mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya akan dijamin hidupnya bahagia dan masuk surga. Hingga pada akhirnya, ajaran-ajaran tersebut menjadi langkah kebudayaan hidup atau biasa disebut folkways yang menjadi custom atau kewajiban dalam kesatuan yang bulat. Kewajiban yang tertuang di sini adalah menuntut ilmu dan mencari guru yang baik, sesuai kriteria guru.

Hal ini biasanya dilakukan oleh golongan santri, yang merupakan golongan masyarakat dipandang dari sudut agama. Apabila dari golongan sosial jawa maka kalangann bangsawanlah yang menggunakan pelajaran ini. Karena pada zaman dahulu karya sastra ini hanya sebatas kalangan keraton saja. Sedangkan saat ini sudah bisa dinikmati khalayak umum.

Apabila dikaitkan dengan ragam fungsinya, hal ini termasuk dalam ragam pranata sosial bidang pendidikan. Begitulah sekiranya sedikit yang dapat diambil pelajaran dari pupuh Dhandanggula pada 3 dan 4 Serat Wulang Reh ini. Dengan harapan menambah wawasan dan berharap syukur dapat diamalkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dan semoga menjadi ilmu yang barokah serta manfaat.

Friday, March 16, 2012

Contoh Geguritan 1

Nalikane Pajar

Bayu kang angreremih ing kalbu
sayup lamat kapiyarsa timbalan agung
nalika asreping pajar
kairing kluruking jago

mangkana janma utama
gya prapta ing masjid
kalawan asesuci tirta utami
inggih wudhu wajibipun

manembah sujud sahaja ing Gusti
kalawan khuduring tyas
tumungkuling saking  prahara dunya
tansah eling mring Hyang Suksma

sumandhe ing ngarsaning Gusti
lawan puja-puji astuti
anyadhong lawan donga
kanthi pangajab pinaringan rohmat dalah kayuwanan



Terjemahan Bebas

Ketika Fajar
Angin yang membelai di hati
sayup terdengar panggilan agung
ketika dinginnya fajar
teriring kokok ayam jago

begitu manusia yang utama
cepat datang ke masjid
dengan bersuci air utama
yakni wudhu yang menjadi wajibnya

menyembah sujud hanya kepada Tuhan
dengan hadirnya hati
tertunduk dari perkara dunia
senantiasa ingat kepada tuhan

bersandar di hadapan Tuhan
dengan memujiNya
meminta dengan doa
dengan harapan mendapat rahmat dan juga keselamatan


Puisi ini salah satu yang ada pada "Sekumpulan Sajak Pesantren -JADZAB- oleh Hasfa Publisher, Penerbit Arias Demak"

Wednesday, March 14, 2012

Antologi Puisi Lintas Pesantren "JADZAB"


Sekumpulan Sajak Pesantren "JADZAB"

Penulis: Usman Arrumy, Devie Sarah Khan, Amna Milladiyah, Sekar Aisha Nahdhia, Mawar Merah, Cahaya Langit, Nurul Farida Wajdi, Hasan Ben Ali, Ella Ainayya, Muhammad Ufi Ishbar Noval, Ita Rosyidah Miskiyyah, Nabilah Munsyarihah, Violet Angel, Nada Haroen, Ami Kafie, Azzqie Adawiyah, Awy Ameer Qolawun, Dian Nafi.

Endrosment: Ibu Nyai Hj. Lilik Qurratul Ishaqiyah (Pengasuh Pondok Pesantren Langitan)
"Sebagian dari mutiara-mutiara dunia dengan pantulan sinarnya, menembus cakrawala dengan keindahan kata dan keindahan pribadi nyata. Puisi ini adalah jeritan dan gambaran hati. Dan Allah-lah Yang Maha Tahu. Wallahu a'lam bisshowab."

Pengantar: Dr. Suwardi Endraswara, M.Hum (Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta)
"Judul antologi -JADZAB- sungguh sebuah pilihan yang menjadi ruh puisi-puisi yang lain. hidup ini barangkali memang sedang menjadi jadzab. Entah sampai kapanpun, manusia diliputi jadzab. Manusia seakan tersihir oleh dunia, hingga lupa pada jadzab. Kalau jadzab itu seorang sufi, mungkin sudah di atas Sunan Kalijaga. Yang paling penting, melalui puisi yang termuat dalam antologi ini, mudah-mudahan pembaca dapat melihat jadzab ini secara proporsional. Hidup ini tidak sekeedar permainan tanpa akhir, itulah kira-kira.
Saya tidak menduga, kalau para santriwan lan santriwati ternyata juga piawai merangkai titik menjadi kata, kata melebur menjadi garis, garis menjadi takdir, takdir terurai lewat keindahan bahasa. Sunggh sulit kalau saya harus cermati satu persatu. Namun, dari pembacaan saya dengan santsi, dapat saya petik harapan bahwa semua penyair ini memang memiliki bakat. Mereka memiliki intelektualitas dan religiusitas tingkat tinggi.
Puisi-puisi yang tersaji ini dekat dengan sebuah pencarin 'cahaya surgawi'. Puisi muhasabah, dzikir, dusta, sujud, dan takbir adalah potret upaya penyair menemukan 'ada yang tiada'.

Thursday, February 16, 2012

Gelap di Mata Terang di Hati

Foto saat TryOut Desember tahun 2011
Membaca dan menulis adalah dua hal yang saling berkaitan. Berdasarkan wahyu Allah yang pertama diturunkan, kata Iqra yang menjadi bermakna, bacalah. Jelas dan sangat gambalang di dalam al-quran mewajibkan untuk membaca. Dari membaca berkembang menjadi menulis, seperti pada zaman Nabi, quran ditulis oleh sahabat di berbagai media, karena Rasulullah adalah insan yang 'ummi (tidak bisa membaca dan menulis).
begitu pun dengan kita, pertama kali yang diajarkan adalah untuk membaca. Diantaranya adaah membaca suasana, membaca apa yang didengar dan apa yang kita lihat sedari masih kecil. Kemudian berusaha menirukannya, dan ketika beranjak beasr, kita belajar menulis.
Namun bagaimana dengan mereka yang diberi kekurangan fisik tak dapat melihat? apakah merek juga bisa seperti yang lainnya? Pada kenyataanya bisa. Bahkan mereka bisa bersaing dengan yang normal. Salah satu madrasah inklusi di Yogyakarta adalah jawabannya. MAN Maguwoharjo, atau sekarang dikenal dengan MAN 2 Sleman tempatnya.
Pengalaman saat masih berada di sana, saya dicalonkan menjadi ketua OSIS. Saat proses sosialisasi, semua calon ketua OSIS diminta untuk berorasai di depan warga sekolah. Majulah saya menyampaikan visi misi yang akan dibawa jika terpilih menjadi ketua OSIS. Tak disangka, enam bulan berlalu setelah orasi tersebut, saya sering berjalan dengan salah satu kakak kelas yang kebetulan berkebutuhan khusus. Saat itu saya mau antar ke kosannya. Mbak Dina namanya.
"Eh, kamu kan Nurul Farida ya?" Tanya Mbak Dina
"Hehehe, iya mbak, kok mbak bisa tau dan kenal, dari mana? saya aja malah bekum kenal sama mbak." Jawabku terheran-heran dan kebingungan.
"Waah, ya tahu to, kamu kan yang ikut orasi ketua OSIS waktu itu kan?" Jawab Mbak Dina dengan senyum lebarnya, seolah kenal sekali denganku.
"Hehehe, iya mbak." Jawabku malu sambil mengingat-ingat waktu itu.
Betapa kagetnya, karena merasa belum mengenal Mbak Dina, tapi kok seperti mengenliku hanya dengan sekali mendengar. Itupun melalui pengeras suara yang bisa saja suaraku berubah. Dan kagum lagi karena jarak yang lama perbincangan ini antara orasinya. Setengah tahun lebih, ya, lama kan? Mungkin ini keadilan yang Allah berikan untuk mereka. diberikan daya ingat yang istimewa dan mudah menyerap suara-suara.
Lambat laun mengamati kakak kelas yang berkebutuhan khusus itu, ternyata istimewa. Meski mata tak melihat indahnya dunia, namun hatinya begitu menyala, menatap ke mana saja. gelap di mata mereka, terang di hatinya.

Tuesday, February 14, 2012

Ketika Siswa Membaca

Selama ini, banyak siswa yang mengeluhkan prestasinya di sekolahan. Setiap kali ditanya oleh guru, jawaban yang terucap adalah lupa. Selain itu juga, adanya siswa yang belajar hanya di sekolahan saja. Hal ini tentu membuktikan kalau mereka malas untuk belajar, bahkan sekedar membaca. Padahal ketika mereka membaca, otomatis mereka belajar. jika membaca saja malas, otak juga malas untuk berfikir ilmiah.

Slogan membaca adalah jendela dunia, semua mengetahuinya. hanya saja dalam praktek nyata masih nol besar. Terbukti dengan minat baca yang masih rendah. Anak-anak masih senang dengan gawainya daripada bukunya.

Menurut ajaran agama sendiri, menbaca adalah perintah pertama yang ada. Iqro', itulah wahyu yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan membaca, akan mengetahui banyak hal. dengan membaca mengerti agama. Dengan membaca akan mendapatan ilmu. Dengan ilmu, bisa meraih dunia dan akhirat.

Kalau firman Tuhan sudah dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan, maka membaca adalah kewajiban. Dengan membaca, menjadi solusi atas permasalahan. Kalau siswa rajin membaca, tentu menambah banyak pengetahuan.

Kalau menurut Liang Gie "Dengan ketrampilan membaca itu, setiap pelajar dapat memasuki dunia kelilmuan yang penuh pesona, memahami khazanah kearifan yang banyak hikmat dan mengembangkan berbagai ketrampilan lainnya yang amat berguna untuk kelak sukses dalam hidup. Aktivitas membaca yang terampil akan membukakan jendela pengetahuan yang luas, gerbang kearifan yang dalam dan lorong keahlian yang lebar di masa depan". (Seni Membaca untuk Studi, The Liang Gie: Hal.10)

Selain hal tersebut, membaca juga menjaga kewarasan. Karena di dalam otak terdapat banyak sel yang belum terhubung. Dengan membaca, sel-tersebut akan saling mengait dan nyambung. Dengan demikian fikiran lebih terjaga dan tidak mudah lupa.

Lalu bagaimana supaya jatuh cinta dengan membaca? baiknya diawali dengan membaca apa yang disukai, selebihnya, jika memang membutuhkan, tentu harus mencintai apa yang dibaca, supaya rasa dalam hati lebih mengena, dan apa yang dibaca lebih bermakna.

Thursday, February 2, 2012

Adab dalam Serat Wulang Reh


Dalam islam di ranah Jawa, khususnya Jawa yang berbahasa Jawa, banyak karya pujangga hebat dalam berbagai nama. Salah satu di antaranya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV dengan Serat Wulang Rehnya. Wulang adalah ajaran, sedangkan Reh adalah memerintah. Maksudnya, serat ini mengandung banyak perintah kepada anak cucu untuk bekal menjalani kehidupan.

Yang menarik di sini adalah banyaknya ajaran yang sejalan dengan ajaran Islam. Seperti santri yang mengaji dengan kitab kuningnya. Isinya tidak jauh berbeda, hanya kemasannya yang berbeda. Hal ini juga disebabkan karena sang maestro juga seorang santri.

Friday, January 20, 2012

Misteri Penelitian Suluk Wujil

Di sebuah perguruan tinggi, untuk mencapai jenjang S1, mahasiswa diharuskan mengadakan penelitian untuk sebuah karya ilmiah bernama skripsi. Hal ini dilakukan untuk diakui karyanya di kancah pendidikan formal.

Tak jauh berbeda dengan salah satu mahasiswa yang akan saya ceritakan di sini. sebut saja Rini. Dia mengambil jurusan sastra Jawa di kampus pilihannya. Pada saat menempuh penelitian naskah jawa kuno, yaitu Suluk Wujil karya Sunan Bonang.

Rini melakukan penelitiannya dengan mengambil naskah tersebut di perpustakaan nasional Jakarta. Naskah tersebut memang disimpan di sana. Saat Rini mulai membuka naskah tersebut, lembar demi lembar dibuka untuk dicermati dengan seksama.

Karena waktu sudah larut dan mengharuskan untuk istirahat, tidurlah Rini. Namun tidurnya kali ini sedikit berbeda, karena dalam tidurnya selalu diikuti bayang-bayang kecil, botak dan matanya bak batre menyala menatapnya tajam. Di dalam mimpi tersebut, seakan-akan sosok kecil itu ingin mengikutinya.

"Eh... kamu siapa?"

"Ini aku... aku mau ikut kamu..."

Percakapan itu terus terjadi di dalam mimpi Rini, dan setiap terbangun, rasa takut selalu menghantuinya. Bahkan mimpi itu hadir tidak hanya ketika tidur malam saja, saat tidur siang juga bertandang.

Rasa cemas, lelah, kantuk dan gelisah selalu menyelimutinya, setiap hari selalu terbayang dan didatangi makhluk aneh dalam tidurnya. waktu untuk tidurnya sudah berkurang banyak, karena ketakutannya saat tidur selalu melanda saat kantuk datang.

Satu hal lagi yang dicemaskan selama penelitian berlangsung. Dosen pembimbiingnya wafat. tidak hanya satu, tiga dosen pembimbingnya wafat semua. Sampai pada akhirnya kajur membuat kebijakan untuk pengalihan pembimbing. Profesor sepuh di jurusan yang diajukan.

 Rini menceritakan kejadian yang dialaminya selama penelitian berlangsung.

"Prof.. saya ini kenapa ya? semenjak meneliti naskah Suluk Wujil di perpus nasional kok selalu diikuti bayang-bayang wujud aneh, ingin ikut saya katanya."

"Emang kamu perlakukan bagaimana naskah itu?"

"Ya saya memperlakukannya sesuai prosedur di perpustakaan nasional prof."

"Lainnya?"

"Tidak ada prof."

"Wooo... ya itu... sebab kamu diikuti bayang-bayang kecil, dia penunggu naskah Suluk Wujil itu."

"Saya harus bagaimana prof?"

"Mendingan kamu segera nyekar ke makam Sunan Bonang!"

"Gitu ya prof?"

Sambil berfikir, Rini emncoba mencari solusi lain selain nyekar ke makam Sunan Bonang, karena jauh. Dalam solat dan doanya selalu mohon pertolongan Allah supaya dimudahkan semuanya. Hingga suatu hari, Rini bertemu seorang teman yang ahli tirakat dan meminta masukan padanya.

"Mas, saya ini kok selama penelitian Suluk Wujil, tiap tidur selalu didatangi makhluk aneh yaa? makhluknya itu terus dan bilang mau ikut saya katanya."

"Oooh, itu masalahmu, gini aja... sekarang tak kasih amalan ini, insyaallah bisa membantu."

Gambar sumber dari http://www.sangkawi.com/2017/04/suluk-wujil-karya-pesan-sunan-bonang-i.html
Akhirnya Rini melaksanakan apa yang disarankan oleh temannya tersebut tanpa harus pergi nyekar ke makam Sunan Bonang.

Beberapa hari kemudian, sosok kecil yang selalu hadir di dalam mimpinya itu tidak ada lagi. Bahkan sosok kecil itu juga berpamitan di dalam mimpi, tidak akan mengikutinya lagi.

"Aku mau ikut kamu..."

"Nggak boleh!"

Akhirnya dalam mimpi yang biasanya Rini ketakutan saat melihat makhluk kecil itu, dalam mimpi kali ini begitu berani dan menantang makhluk tersebut. Rini merasa menyiramkan sesuatu kepada makhluk tersebut hingga ahirnya lenyaplah makhluk tersebut.

Semenjak Rini tak diganggu makhluk aneh itu, perasaanya tak lagi takut dan kacau. tapi Rini penasaran dengan yang terjadi padanya, hingga ahirnya bertanya kepada pra filolog ternama yang meneliti naskah-naskah kuno.

"Pak, jenengan kalau meneliti naskah tua bagaimana prosesinya? Kok sepertinya tidak ada sesuatu yang terjadi."nya juga."


"Oooo.... kalau saya biasanya puasa dulu sebelum membuka naskahnya, nyekar ke penganggit


Dalam hati Rini menjawab, "Owalaah, pantesan, hlah wong aku nggak pake ritual apa-apa, hehehee."