Sebagai mahasiswa yang merasa bodoh, semakin bodoh saja diri ini. Bingung harus bagaimana.
"Duh, gimana ya tugas ini, nanti mau cari ke mana?" Batinku sambil melihat teman-teman yang lain, yang sepertinya sangat antusias dengan tugas ini. Aku hanya bisa melongo.
"Hei... kamu mau cari naskah ke mana?" Jawil Ana di sampingku, seketika memecah penerawanganku yang akan ke mana.
"Ehh, kamu Na... bingung ni... ke mana yaa..." Jawabku bingung dengan wajah linglung.
"Kita ke Museum Sanabudaya saja, yang deket, di sana juga banyak naskah." Ajak Ana kepadaku, dengan gaya memelas.
"Boleh... kapan ke sana? kalau besok gimana?" Jawabku mantab.
"Okke... siap, biasa ya..." Goda Ana dengan menjawil tanganku, seperti mengharap sesuatu.
"Iya... iya... paham kok."
***
Keesokan harinya, aku bersiap ke kos Ana, untuk menjemputnya. Maklum saja, dia tidak bisa naik motor, jadi kalau ke mana-mana nebeng. Sampai di kos Ana, langsung saja berangkat, karena Ana sudah siap di depan kosnya.
Sesampainya di Museum Sanabudaya, kami bingung mencari-cari harus ke mana, sampai ahirnya bertanya kepada pak satpam.
"Nuwun sewu Pak, kalau mau melihat naskah di mana nggih?" Tanyaku kepada Pak Satpam yang sedang berjaga.
"O.. pintu itu masuk saja ke barat Mba, nanti ada lorong ke utara, masuk saja, nanti bilang saja ke penjaganya kalau mau melihat naskah gitu, untuk penelitian kan mbak?" Jawab Pak Satpam dengan ramah dan senyum, sambil mengarahkan jempolnya ke arah pintu masuk.
"Inggih Pak, ada tugas meneliti naskah." Jawabku sambil menunduk senyum, dengan sikap tangan ngapurancang.
"Mangga isi buku tamu dulu mbak!" Pinta Pak Satpam padaku, sambil menyodorkan buku besar dan pulpen.
"Oooo, inggih pak." Sahutku sambil mengambil pulpen yang ditali dengan buku besar itu.
Setelah kutulis nama di buku tamu itu, langsung saja kami pamit menuju ruang yang dimaksud Pak Satpam tadi. Aku berjalan melewati gapura tua bernuansa candi, dengan warna khas, karena saking tuanya. Lumut-lumut hijau menempel di beberapa sudut gapura. Seolah berkata kalau gapura itu benar-benar tua.
Sampai di ruangan yang dimaksud, Aku dan ana kebingungan harus bagaimana, nampak sepi sekali, dan gelap. Duh horornya. Padahal siang hari ya, ditambah bau aroma menyan dan bunga-bunga sajen begitu menyengat. Tengok kiri kanan seperti tidak ada orang. Menengok lebih ke dalam, semakin banyak barang-barang antik khas kerajaan jawa.
"Ah.. sepertinya gak mungkin di sana." Batinku dengan sedikit was-was dan merinding.
"Mbak, mau apa?" Terdengar suara yang mengagetkan itu membuatku putar balik menuju pintu.
"Eh.. maaf Pak, ini... ee.... saya dan teman saya ini mau melihat naskah jawa Pak, ada tugas Filologi untuk menganalisis naskah." Jawabku dengan tergopoh, karena masih kaget dengan suara sapaan tadi.
"O. iya, mari masuk ke atas mbak." Ajak bapak pejaga, dengan tangan mengarah ke tangga naik menuju ruangan khusus.
Sampai di atas, masuk ke ruangan khusus itu, langsung tercium aroma yang sangat berbeda. Bau khas kapur barus dan kertas tua begitu menyengat. Kulihat dengan jelas deretan naskah-naskah tua yang lusuh itu berjajar rapi di rak dengan banyak kode di setiap sapnya.
Berada di ruangan dingin full AC dan bau aneh membuat sedikit pusing, kemudian bapak penjaga memberi kami masker, supaya baunya tidak begitu menusuk.
Setelah naskah yang kami ingindan dapat, kami meminta copiannya untuk diteliti di rumah dan kos saja. Kalau lama-lama di ruangan itu rasanya menyerah saja. Dengan sedikit perjuangan, yaitu mengeluarkan uang 10.000 rupiah setiap satu halamannya. Kubawa pulang sekitar tiga halaman naskah. Serat Fasolatan, ya... itu yang aku ambil untuk diteliti.
***
Setelah mengantar ana kembali ke kos, aku langsung bergegas tancap gas motor pulang ke rumah, sudah tidak sabar hendak membuaka naskah itu untuk di baca dan diteliti, apa isi yang terkandung di dalamnya.
Sampai di kamar, langsung saja kuambil naskah yang tadi kuambil dari museum untuk segera dieksekusi. Kubuka satu persatu dengan perlahan, kemudian dilirik tiap aksaranya. Kucoba alih tulis ke dalam huruf abjad berbahasa jawa, baru satu dua aksara yang terbaca. Kucoba dan kucoba lagi belum terbaca lagi.
"Duh... ini aksara apa ya, kek cacing gini setelah diamati." Gerutuku sambil membolak balik naskah Serat Fasolatan itu.
Satu jam menghadap naskah yang entah, sampai capek melihatnya, belum juga terbaca olehku. Mungkin saking bodohnya aku kali ya. Belum bisa membaca dengan lancar aksara jawa itu.
Seminggu berlalu belum juga bisa kubaca Serat Fasolatan itu. Sampai bingung harus aku apakan. Mau bertanya kepada teman, rasanya mereka semua juga sibuk dengan tugasnya. Hingga ahirnya kuberanikan diri bertanya kepada teman yang kuanggap paling pinter baca aksara jawa di kelas.
Kusodorkan naskahku kepadanya. Dia coba cermati dan membaca naskah milikku. Lama sekali dia melihat. Dibolak-balik sampai entah berapa kali, dan aku masih menunggu harapan itu. Hingga ahirnya temanku itu juga menyerah tidak bisa membaca.
Duh, teman yang paling pinter di kelas saja tidak bisa membaca, itu bunyinya apa, apalagi aku yang masih amburadul gini belajarnya?
Sampai di minggu ketiga, minggu di mana diumumkan untuk pengumpulan tugas analisis naskahnya adalah esok hari. Galau menjadi-jadi, bagaimana ini dengan tugasku yang belum juga terbaca naskahnya. Teman-teman yang lain nampak sudah siap, dan sudah pada tahap analisis. Sedangkan aku, untuk traskripsi saja belum.
Galau melanda hati yang gundah gulana kerana belum jua dapat terbaca naskahnya, sampai ahirnya maghrib tiba. Kuambil air wudhu untuk sholat terlebih dahulu. Setelah sholat selesai, barulah lanjut mencoba membaca naskah Serat Fasolatan itu untuk ditranskrip.
Baru lima menit mencoba membaca, bisa terbaca akhirnya.
"Yaa Allaaah, ternyata ini to bunyinya, pantesan saja tidak ketemu diothak-athik pakai bahasa jawa, lah wong bunyinya bahasa arab." Sepontan keluar dari mulutku dengan riang gembira, dan juga hati merdeka karena sudah bisa terbaca naskahnya.
Bagaimana terbaca naskahnya, kalau mengejanya dengan kata berbahasa jawa, karena ternyata bunyinya "Utawi niyate wudu iku nawetu wudua liropngil kadasil asgaril parlan lillahi tangala."
Lega sudah, karena naskah sudah terbaca, tinggal lanjut lembur analisisnya saja setelah Isya, karena keesokan harinya sudah harus dikumpulkan.
Seketika itu juga mejadi teringan sebuah kisah untuk meneliti naskah kuno harus dengan ritual supaya tidak ada gangguan. Ya.. dalam keadaan suci atau berwudhu, mungkin itu kuncinya untuk bisa jernih membaca naskah Serat Fasolatan.
No comments:
Post a Comment