Berawal dari jatuhnya anak pertama saya (Lala) dari ayunan. Ayunan ini dibuatkan simbahnya (ibu saya) supaya cucunya tidak rebutan dengan ayunan tetangga. Dibuat pakai tali jemuran dan ban mobil bekas. Ban ini pemberian dari ortu mbak kos jaman dulu, kira-kira tahun 2004. Dulu sih untuk ayunan saya dan adik.
Lala ini anak perempuan usia 4 tahun belum genap, tapi suka manjat-manjat, main ayunan sambil berdiri dan diputar-putar. Kadang malah seperti tiduran di ayunan.
Tibalah sore itu, saat saya sedang memotong kain di dalam rumah, karena ada orderan tas untuk hajatan. Ibu saya dalam satu ruangan dengan saya, sambil memangku anak nomer dua saya (Mazaya). Sedangkan Lala asik bermain sendiri di luar dengan ayunannya.
Tiba-tiba saja "Bruk... Huaaa huaaa huaaaa." Terdengar suara jatuh dan tangisan yang keras sekali.
Langsung saja saya lari dan mendatangi Lala. Posisi sudah tengkurap, nangis tidak karuan. Dan jarak dari ayunan berada sekitar 2 meter dari tempatnya. Diminta bangun masih saja menangis. Paniklah saya. Ahirnya digendong, bawa masuk ke kamar.
Selama di kamar hanya menangis saja, ditanya apa saja malah nangis. Hanya memegangi pundak sebelah kirinya. Kami pikir mungkin kesleo ya. Sampai ahirnya Babahe pulang kerja, diajak ngomong tambah nangis. Hanya mau diam kalau sama saya.
Paginya, fikiran semakin ndak karuan. Apa di bawa saja ke rumah sakit ya? Fikir saya gitu. Tapi, kegoyahan menghampiri, nanti uang dari mana kalau harus opnam atau mungkin ada yang lebih buruk lagi.
Malamnya, saya dan suami nekat, bismillah ke rumah sakit. Langsung ke IGD supaya segera ditangani. Ini sih mungkin agak terlambat ya, karena bingung tadi, bagaimana biayanya. Ditambah lagi harus meninggalkan bayi yang hanya mau minum langsung dari saya. Sedangakan Lala tidak mau ke rumah sakit kalau tidak bersama saya.
Di ruang IGD, setelah dipegang dokter, Lala mau bercerita. Bagaimana kejadian jatuhnya dari ayunan. Ceritanya ayunn diputer sampai lilitan banyak, Lala naik di ayunan sambil berdiri. Tangannya terlepas saat pegangan ayunannya, terpentallah dan jatuh ke tanah (sudah paving block sih).
Setelah diakusi dengan dokter, ahirnya dirongsen saja, supaya tahu harus bagaimana dan seperti apa penanganannya.
Tak lama hasil keluar, dan braakkkk... Rasanya seperti tubuh ini tidak bertulang. Lemas, lunglai, sedih ndak karuan. Ternyata Lala patah tulang di bagian bahu depan.
Dokter langsung segera meminta saya dan suami untuk membawa ke rumahsakit yang lebih besar, untuk operasi.
Duh, operasi? Uang dari mana? BPJS juga ndak punya. Kebayang kan, seberapa besar uang yang harus kami keluarkan?
Setelah mencoba berdikir tenang, kami pulang, berdiskusi dengan simbahnya juga, bagaimana enaknya.
Hasil rembugan, saya dn suami diminta membawa Lala ke sangkal putung saja. Cari yang dekat. Karena saat periksa, juga harus bawa bayi, Lala ndak mau ke man-mana kalau tidak sama ibunya. Sedih nggak sih?
Dengan jalan alternatif, bagi kami biaya juga tetap lumayan menguras tenaga dan fikiran. Pertama datang 400.000, kontrol setiap minggunya 200.000. Apalagi barengan dengan imunisasi Maza yang lumayan juga, karena vaksin polio subsidi sedang kosong.
Fikiran panik melanda, mbatin ini bagaimana, gaji suami yang UMR itu biasanya cukup untuk makan, kirim ke mertua. Uang dari mana untuk rutin memeriksakan Lala?
Lalu apa yang saya lakukan?
Saya berusaha selalu berfikir positif dan menghilangkan rasa panik. Mengembalikan segala keluh kesah kepadaNya.
Alhamdulillahnya, ada satu dua pesanan undangan souvenir. Beberapa gamis juga. Lumayan dikumpulkan untuk kontrol hari minggu.
Minggu berikutnya, belum ada tanda-tanda uang datang. Mendekati hari periksa, tiba-tiba ada yang memberi uang, cukup untuk periksa.
Begitu sampai kurang lebih 2 bulan lamanya. Setiap minggu harus mengeluarkan 200.000. Bagi kami, kalau dipikir, uang segitu sungguh perjuangan. Demi kesembuhan anak, biarlah, itu juga menjadi pembelajaran saya sebagai orang tua untuk lebih pasrah sama Gusti.
Dan setelah Lala sembuh, yaa belum ada uang lagi, kalau pengen jajan atau beli lauk yang enak, apalagi lihat baju anak dan bayi lucu-lucu. Yang penting kebutuhan anak terpenuhi dulu, kami sudah lega ❤️
Urusan nanti banyak saudara dan tetangga hajatan, semoga ada jalannya ❤️ yang penting ikhtiyar, tawakkal kepada Allah.
Sangat terasa sekali pembelajaran kali ini. Bagaimana Gusti yang selalu mencukupi kebutuhan kita, bukan keinginan kita. Semoga kita semua selalu menjadi hambaNya yang pandai bersyukur dalam keadaan apapun. Alhamdulillahi rabbil 'aalamiin.