Koleksi Foto Pribadi |
Judul Buku : Hamengku Buwono IX Inspiring Prophetic Leader
Penulis : Parni Hadi – Nasyith Majidi
Penerbit : IRSI (Ikatan Relawan Sosial Indonesia), 2013
Tebal Buku : 462 Halaman
Akhir-akhir ini, kiranya banyak sekali pemimpin yang dikritik sana-sini karena kurang berkesan di hati rakyatnya. Entah karena orupi atau kasus kriminal lainnya. Jika dirasakan, rakyat Indonesia haus akan pemimpin yang baik, benar-benar tulus untuk menjadi abdi masyarakat, bukan memanfaatkan masyarakat. Dalam ringkasan buku ini, tentang salah satu sosok pemimpin yang menjadi idola juga teladan semoga bisa membasahi kerontangnya hati juga fikiran karena emosi terkini. Semoga juga membawa manfaat dan membangun semangat untuk menjadi lebih baik lagi, menjadi pribadi yang indah di mata manusia juga Tuhan. Di dalam ringkasan buku ini, kami tuliskan cuplikan hasil wawancara dari orang yang mengenal langsung Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sri Sultan Hamengku Buwono X, “Cara hidup yang sederhana, tetapi terkadang menampilkan keangkeran, ketegasannya di satu pihak, tetapi juga kelemah-lembutan serta keramahan, kehangatan, dan keakrabannya, di lain pihak, menjadi renungan banyak orang, tiada habis-habisnya”.
Parni Hadi, “Seorang pemimpin kenabian menjalankan tugasnya sebagai amanah dari Allah dan semata-mata sebagai ibadah. Buan untuk mencari kekuasaan, kekayaan, penghormatan dan pujian dari manusia”.
Secuplik kalimat yang membuat tersentak adalah ucapan beliau kepada Herjuno Darpito (Sultan HB X) “saya ini berjuang untuk bangsa saya sesuai harapan leluhur-leluhur saya. Setelah selesai, rakyat tidak ingat saya, ya tidak apa-apa”. Lalu bagaimana dengan kita? Yang masih berjuang karena ada apa.
Sosok Sultan IX, adalah juga seorang pramuka sejati, pancasialis sejati. “Pramuka tempat terbaik melatih anak-anak menjadi orang Indonesia yang mandiri dan belajar menjadi pemimpin, mulai dari tingkat bawah”.
Nasyith Majidi, “Sebenarnya rajanya termasuk raja yang baik. Wakilnya juga cerdik. Semua anak buah hatinya baik. Pemuka-pemuka masyarakat baik. Namun segalanya itu tidak menciptakan kebaikan”. – Kalatidha “ ketiadaan pemimpin yang profetik telah membuat kecerdasan intelektual tidak memberikan keberkahan kepada rakyat yang dipimpinnya, tetapi justrusebaliknya, malapetaka.
Boediono, “dalam kepemimpinan dan perjalanan hingga akhir hayatnya, Sultan tidak merasa perlu untuk menanggapi tuduhan-tuduhan miring itu.pun beliau tidak pernah menepuk dada untuk menyebutkan keberhasilan-keberhasilan yang diraih dari kebijakan yang dirancangnya. Padahal selama masa-masa transisi yang sulit itu peran Beliau sangat besar”.
Jusuf Kalla, “Sultan telah meletakkan rumusan dasar bagi program rehabilitasi dan stabilisasi Orde Baru dalam bisang ekonomi, moneter dan infrastruktur yang berhasil menyelamatkan Indonesia dari kebangkrutan.
Emil Salim, “Memberi jaminan ‘trust’ adalah modal utama kepemimpinan Pak Sultan. Tampaklah peranan utama Sultan HB IX dalam menormalisasi hubungan ekonomi Indonesia deng dunia Internasional saat itu. Di saat Indonesia di masa menasionalisasi perusahaan Belanda dan perusahaan Inggris, iklim keruh bermusuhan dan hostile bisa diredam oleh Pak Sultan, terutama karena integritas dan kredibilitas Beliau tinggi”.
Irman Gusman, “Keikhlasan, berbuat baik tanpa menonjolkan diri atau pamrih, bersahaja dan tampil pada saat-saat negara dan bangsa dalam keadaan genting, antara lain adalah sifat Sultan yang perlu ditiru oleh pemimpin generasi mendatang”.
G.K.R. Hemas, “Sultan memandang jabatan dan kekuasaan sebagai amanah, bukan untuk menguasai orang lain demi kepentingannya sendiri. Sikapnya ini dapat dilihat dari apa yang seringkali disampaikan kepada anaknya atau kerabatnya. Setiap kebijakan atau keputusan yang akan diambil selalu ia kaitkan implementasinya kepada nasib rakyat banyak”.
Meutia Farida Hatta Swasono, “Kepemimpinan Sultan ditunjukkan dengan kebesaran jiwa dan kerelawanannya saat ia mengirim telegram, dalam kedudukannya sebagai ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta dan ditujukan kepada Presiden serta Wakil Presiden RI yang pertama. Dalam telegram ini ia menyatakan “sanggup berdiri di belakang pimpinan mereka”. Sebuah kerelawanan dan kebesaran jiwa yang luar biasa.
Jakob Oetama, “Paham politik Sultan adalah seorang nasionalis, demokrat yang bersikap kerayatan, dan figur nasional yang mengatasi paham serta kepentingan golongan. Sikapnya yang demokratis, bahkan kerakyatan, dalam penampilan tidak penuh gegap gempita sebab Sultan besar dalam adat serta tata nilai aristokratis dan menjadi sumber kelebihan. Namun orang bisa sebaliknya juga melihat sebagai kelemahan.”
Sutaryo, “Di bidang intelektual, Sultan dilatih formal di bangku sekolah dan kuliah. Di bidang kemasyarakatan, ia aktif di pergeraan kepanduan, olah raga, dan organisasi kemahasiswaan. Di bidang spiritual, sebagai orang Jawa, ia melakukan laku tapa brata (laku prihatin dengan mendekatan diri pada Sang Pencipta). Hal tersebut akan mendasari intuisi yang tajam kepemimpinannya dalam mengambil langkah yang tepat untuk menyongsong kejadian yang akan datang”.
Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Ketika menjabat sebagai wail Presiden di bawah Presiden Suharto, Sultan lebih banyak menderita, karena tidak bisa melakukan sesuatu yang besar untuk Indonesia. Padahal di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, Suharto hanyalah seorng Letnan Kolonel sebagai pembantu Sultan HB IX. Tetapi sebagai bangsawan Jawa, kemampuannya untuk menahan diri yang luar biasa. Penderitaan batin itu dipikulnya agar perpecahan kepemimpinan nasional tidak mencuat ke permuakaan”.
Soebagijo I.N, “Rakyat Indonesia mengenang keemimpinan Sultan HB IX bukan saja sebagai seorng sultan yang bijak, tetapi juga sebagai seorang pemimpin utama bangsanya. Bukan saja karena kesetiaannya kepada Republik, tetapi juga karena kesederhanaan serta kejujurannya selama dia mengemban amanat epemimpinannya”.
Fachry Ali, “Bagi jutaan penduduk Jawa Tengah dia masih pribadi gaib, diselubungi oleh pancaran cahaya keagungan dan kesucian sebagai wakil kekuatan feodal dan keagamaan nenek moyangnya. Di dalam keraton dia diikat oleh tradisi. Akan tetapi di luar keraton dia bersikap jauh lebih bersahaja daripada orang-orang besar baru Republik”.
Solahuddin Wahid, “Salah satu sikap yang perlu diteladani dari kepemimpinan Sultan adalah kerelaannya untuk berkorban, tercermin dari besarnya aset beliau atau harta kesultanan yang disumbangkan demi kepentingan negara Republik Indonesia. Menurut saya, sudah tidak terhitung lagi berapa ribu hektar tanah atau jumlah bangunan milik kasultanan Ngayogyakarta yang telah disumbangan kepada Presiden RI”.
Sulastomo, “etika kebanyakan orang mencari jabatan, Beliau justru menghindar dari jabatan yang sangat terhormat itu. Inilah contoh manusia yang memiliki integritas tinggi. Bahwa jabatan itu hanya sarana untu mengabdi, untu melayani. Di mana pun ada tempat untuk mengabdi dan melayani rakyat”.
Harry Tjan Silalahi, “Sebagai raja Jawa yang banyak bergaul dengan tokoh nasionalis, pada dasarnya Beliau pejuang Indonesia merdea. Raja jawa yang pro negara Republik dan pro demokrasi. Semangat Republik sudah menjadi keyakinan Beliau. Juga sikapnya sebagai raja yang merakyat”.
Sri Edi Swasono, “Dalam kepemimpinan yang dijalankan Sultan, kesimpulan saya atas contoh onkrit bahwa aksioma ‘Tahta Untuk Rakyat’ benar-benar ada pada dua tokoh ini, yaitu Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX. Pada mereka ada penegasan tentang berlakunya ‘Manunggaling kawula lan Gusti”. Tentu banyak tokoh pendiri Republik lain yang patut pula menyandang kemuliaan ini”.
Purwadi, “Perjalanan hidup Sri Sultan HB IX penuh dengan nilai keteladanan dalam kepemimpinan. Semoga para pemimpin Indonesia saat skarang ini bisa mengamalkan nilai luhur yang diwariskan oleh Sultan, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang aman, damai, adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karto raharjo”.
Rosarita Niken Widiastuti, “Sebagai pemimpin, Sultan berpesan pada generasi muda untuk berjuang mengisi kemerdekaan, janganlah pemuda berjuang hanya untuk mmendapatkan fasilitas, janganlah menggantungkan pada pemerintah, tetapi usahakan sendiri. Janganlah menggantungkan pada siapapun, akan tetapi berikanlah sumbangan yang besar pada nusa dan bangsa. Pesan yang terus relevan sampai sekarang”.
Doddy Partomiharjo, “Sultan tidak ingin budi baiknya di awal berdirinya Republik dietahui oleh orang banyak. Jusuf Ronodiputro dari RRI yang ingin menuliskan kebaikan Sultan yang dikenal sebagai Episode Bangka, tidak berkenan jika dituliskan dan secara halus menolak publikasi mengenai hal itu. ‘Masalah ini tidak usah diingat-ingat,’ kata Sultan. Ia pun merobek-robek naskah tersebut dan memasukkan potongan kertas berisi naskah itu ke dalam kantong celananya”.
Chappy Hakim, “Sultan telah memberikan demikian banyak bagi nama besar Ibu Pertiwi, jauh dari panggilan tugas yang seharusnya diemban oleh seorang Sultan Yogya. Seorang tokoh yang sangat sulit untu dicari lagi padanannya. Bila sekarang ini kita mengenal Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa, maka sebenarnya hal itu berawal dari ‘istimewanya’ Sang Sri Sultan Hamengku Buwono IX”.
Agum Gumelar, “ Saat ini memang sulit untuk menemukan sosok pemimpin yang sportif dan fair seperti ditunjukkan oleh Sultan. Sikap ini tidak hanya terkait kegiatan olahraga, tetapi juga dalam kepemimpinan dan politik”.
Nanang Sunarto, “Ia terlihat mengenakan kaos kaki yang bolong dan longgar, serta karet gelang mengikat lingkar kakinya. Tapi wajah dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa. Tatap matanya yang tajam dan penuh makna membuatnya mengundang perhatian”.
Endy Radiman Atmasulistya, “Bakal banyak tantangan di masa depan, banjir besar, tetapi kamu jangan sampai hanyut, menghanyutkan diri saja dengan tetap menjaga adab”.
Nasyith Majidi, “Dalam model kepemimpinan modern yang tidak memasuan matra rasa, kita cenderung untuk melakukan segala hal agar target yang ditentukan bisa tercapai”. Betapa Sultan sangat menjaga dirinya dalam rasa.
Adapun pilar rasa yang digambarkan oleh Ki Ageng Suryometaraman diantaranya:
1. Rasa ketuhanan
2. Rasa kemanusiaan
3. Rasa keadilan
Jalan menuju rasa tersebut dalam Kesultanan Yogyakarta disederhanakan dengan Garis Imajiner yang melambangan hablum minannaas dan hablum minallaah. Dan ini semua bisa diraih jika kita mampu menjaga tiga perbuatan:
1. Berpiir benar
2. Berkata benar
3. Bertindak benar
Itulah spirit dan proses profetik yang diemban seorang Sultan Yogyakarta yang dijadikan tradisi.
Tri Swasono Hadi, “Cara-cara berpuasa, berderma, bermeditasi dan sebagainya merupakan sebagian teknik-teknik yang lazim dipergunaan untuk mengendalikan bahkan meniadakan ego. Superioritas bukan merupakan target yang ingin dicapai, tetapi justru kebalikannya yaitu merendahan hati, terutama di hadapan Tuhan”.
Selain dari beberapa kutipan pendapat dan cuplikan perkataan Sultan di atas, Beliau juga memancarkan kharisma spiritual karena kerendahan hatinya, berusaha jujur dan hidup lurus, tulus ikhlas dalam memimpin. Budi pekerti mulia Sultan ini merupakan bagian dari Panca Laku, yakni:
1. Rendah hati (tawadhu’)
2. Shiddiq
3. Tulus ikhlas
4. Zuhud
5. Fana Fillah
Kezuhudan Sultan tampak menyentil hati ini pada saat beliau mengenakan kaos kaki yang kendur, kemudian diikat dengan karet gelang. Bayangkan saja, Beliau adalah Raja.
Loyalitasnya sebagai Raja juga nampak ketika Indonesia dalam masa peralihan, sesaat setelah merdea, Sultan meminjaman Yogyakarta sebagai ibu kota negara dan membiayai segala operasionalnya. Selain itu juga banyanya gedung dan tanah Sultan juga uang yang disumbangan untuk Indonesia. Kalau bantuan Sultan ini dianggap hutang, mungin sulit bagi Indonesia untuk membayarnya.
Pernah juga suatu ketika saat di jalan magelang kota, Sultan memboncengkan seorang ibu yang hendak ke pasar, bahkan membawakan barang dagangannya ke dalam mobil, juga menurunkannya saat tiba di pasar. Ibu tersebut tidak mengetahui kalau mobil yang ditumpangi adalah milik Sultan. Seketika pingsan ibu itu saat diberitahu oleh tukang parkir yang berjaga.
Betapa indahnya Beliau, dan semogaku, akan selalu ada yang seperti itu.