Saturday, December 28, 2013

Menilai Orang dari Jilbab Part I


Pernah suatu ketika, hati ini merasa sok agamis dan alim. Setiap kali berkawan hanya mereka yang agamawan. Tak mau mendekat dan bersahabat dengan mereka yang tak berjilbab. Saat itu karena hati merasa bahwa mereka itu buruk, berakhlak tidak mulia karena tidak mengikuti tuntunan agama. Bagaimana tidak, berpenampilan dengan membuka aurat sepanjang jalanan.

Kala itu masih jaman MTs dan Aliyah, berfikiran idealis dan perfect dalam agama juga penampilan. Akan tetapi itu dulu saat belum begitu mengenal apa itu kehidupan, apa itu media social dan sebagainya yang marak seperti saat ini. Bisa dibilang terlalu kuper dan mutup diri dari lingkungan yang liar. Dikarenakan kehidupan yang ada lurus-lurus saja, begitu polos dan lugu dalam mencerna kehidupan.

Dulu melihat kawan yang sekolah berjilbab, akan tetapi setelah pulang di lepas, itu risih sekali melihatnya. Terlebih ada kawan yang suka main kesana kemari berbusana tidak karuan terbuka sana-sini, sangat enggan. Dengan demikian hati ini menghukumi mereka tak tau agama, tidak bisa menjaga diri dan yang lainnya. Di dalam hati adalah seburuk-buruk prasangka kepada seorang kawan. Dan kala itu hanya mau berkawan dengan teman-teman yang berjilbab saja. Seolah hati sulit menerima bereka yang masih terbuka dalam berbusana.

Namun seiring berjalannya kehidupan, tiba-tiba Allah menjadikanku murka dengan agama. Allah menjadikanku nista dengan seburuk-buruk perilaku yang ada. Perilaku nista itu bukan pada busana diriku yang menjadi terbuka, akan tetapi kepada akhlakku yang menyembunyikan dosa. Bagaimana tidak, ketika mengenal seorang pria, yang tak perlu disebut nama, aku tunduk kepada orang itu. Dan entah mengapa juga bisa begitu, saat ini tak mau berprasangka busuk padanya.

Kala itu ketakhlukanku padanya ada ketika mulai mengenal apa itu dunia maya. Pun berkenalan dengannya dari dunia maya juga. Dari sana dia banyak ajarkan hal tentang teknologi berselancar di dunia hingga saya juga mahir jadinya, bahkan sempat menjadikanku selebritis di dunia maya. Kembali kepada nista, kala itu gencar kami telfonan juga web cam. Ketika dia meminta aku untuk membuka jilbabku, maka ku buka hijab itu. Dengan polosnya fikiranku saat itu aku mengira dia adalah orang yang serius terhadapku. Ahirnya kami jalani kehidupan itu bersama, saling mengenal, web cam dan sebagainya.

Sampai suatu saat kami berjumpa, tak terelakkan sentuhan tangan menjadi nyata. Hal yang dulu tabu bagiku, kini menjadi kebiasaanku bersamanya. Hingga berboncengan bersama menjadi hal biasa bagi kami, dan kemana-mana berdua. Padahal komitmen pun tak ada, namun hati ini entah mengapa masih tunduk saja. Mungkin itukah yang dinamakan cinta, atau godaan nafsu belaka.
Itulah sekilas perjalanan ketika bersama dia yang biarkan namanya menjadi sejarah dalam kehidupanku. Beberapa tahun kemudian berlalu, tiba-tiba banyak tamparan bagiku, entah yang sering dimarahi, sering disindir dalam majelis dan sebagainya hingga membuatku malu sendiri. Malu takmau mengenal siapapun lagi, tak mau bersosialisasi dengan siapapun. Hingga suatu saat berkenalan dengan seorang teman yang entah mengapa baru pertama kali kenal lalu akrab dan dekat. Akan tetapi sempat sedikit risih juga dengan dia.

Dia adalah wanita cantik dengan jilbabnya juga santun tutur katanya. Dia juga indah suaranya, bahkan aku dan dia sempat latihan bernyanyi bersama untuk sebuah acara. Hingga suatu ketika dia bercerita tentang keluarganya, kekasihnya dan lain sebagainya dan akupun bertukaran kontak dengannya. Kala itu kami bertukaran PIN Blackberry.
Di salah satu ruang chatting itu aku dan dia selalu bercanda, namun suatu ketika saya melihat Display Picturenya seorang wanita tanpa jilbabnya. Dialah temanku itu, serontak kaget dan berprasangka kalau dia bukan wanita yang baik, hanya menutup kedok saja jilbabnya, tanpa berfikir terhadap diri sendiri bagaimana. Hingga ahirnya tetap menilai buruk tmanku itu hanya dari sekali saja melihatnya menampakkan foto tanpa jilbab di social media.

Akan tetapi tak lama dari keakraban itu, tepatnya usai diul fitri lalu, usai saya dan dia berchatting ria janjian ini itu ketika bertemu (karena jauh jarak kami) tiba-tiba mendapatkan kabar bahwasannya dia, teman wanitaku itu mengalami kecelakaan dan meregut nyawanya seketika itu juga. Sontak kaget saja hati ini,kerana 30menit sebelum nyawanya meloloskan diri, aku dan dia masih bertegur sapa. Kaget, shock dan setengah tidak percaya aku menerima berita duka itu.

Keesokan harinya aku dan beberapa rekanku bertandang ke rumahnya untuk haturkan rasa bela sungkawa. Di sana mendengar banyak cerita tentang temanku yang sudah tiada ini. Konon sebelum pergi, dia berkunjung kepada semua saudaranya, memohon maaf, juga memohon diberikan yang terbaik bagi kehidupannya. Karena memang sat itu juga bertepatan usai hari raya idul fitri. Namun memang tak seperti biasanya, konon dia begitu bersemangat dan kekeh meminta do’a terbaik bagi kehidupannya kepada semua sanak familinya.

Dari sedikit kejadian itu, aku tertegun, menunduk dengan deraian airmata yang tiada terbendungkan. Bagaimana tidak, selama ini begitu salah menilai seseorang hanya dari penampilannya saja. Dan kiranya telah banyak juga kisah lainnya yang sebenarnya hati tertutup kala itu untuk menerimanaya. Akan tetapi betapa sayangnya Allah kepada aku yang nista ini dengan segala aib yang ku sembunyikan. Hingga suatu ketika terdengar bisikan dalam hati, “janganlah menilai seseorang dari penampilan, sedikit ia melenceng dari tatanan agama, lalu kau hukumi ia durhaka pada agama, jangan begitu, karena kehidupan ini kita tidak ada yang tahu. Ingatlah, takdir itu semua di tangan Allah, tak ada yang mengetahui bagaimana akhir dari kehidupan ini. Jangan merasa diri suci, karena lihatlah, hati adalah cerminan diri.”

Dan hingga saat ini, hati selah terbuka kepada siapa saja, menerima siapa saja dan semoga tidak mendiskriminasikan hanya karena busana. Adalah do’a memohon ridho juga memohon khusnul khatimah kepadaNya yang sentiasa teranjatkan, kerana tak ada yangmengetahui bagaimana kehidupanku ini. Hingga kini mulai menerima siapapun, terbuka dan nyaman. Urusan jilbab adalah urusan dia dengan Tuhan. Karena memang jilbab adalah perintah agama, dan akhlak itu hasil belajar dari mengikuti perintah agama. Kepada yang belum berjilbab, semoga bisa semakin yakin dan bisa menunaikan kewajiban dalam menjalankan syari’at agama. Dan bagi yang sudah berjilbab, semoga sentiasa istqomah dalam menjalankan syari’atnya, semoga kita semua dijadikan khusnul khotimah penghujung hidupnya, aamiin allahumma aamiin.

Salam dari al-faqier yang bukan orang berilmu, semoga sedikit goresan ini membawa berkah juga manfaat bagi semua aamiin. اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه

Monday, December 2, 2013

Ketika Calon Pendidik Tawuran


Hangat-hangat ini terdengar kabar adanya mahasiswa calon pendidik, atau biasa disebut calon guru melakukan tawuran seperti yang terjadi beberapa saat lalu. Tercatat pada senin sore (25/11) dua kelompok massa dari Fakultas Teknik dan Fakultas Seni dan Desain (FSD) Universitas Negeri Majassar (UNM) terlibat tawuran. Yang lebi mengenaskan dipandangan masyaakat awam umum lainnya hal ini terjadi pada hari PGRI.

Dengan melihat kejadian ini, juga kejadian di daerah lain, mungkin jika banyak terjadi pula, hanya saja tidak diketahui media, apakah tidak memalukan? Seorang calon pendidik generasi penerus bangsa melakukan aksi tawuran. Yang mana tawuran ini adalah salah satu pantangan bagi seorang pendidik. Seorang pendidik itu memiliki etika, dan dikatakan ahli dalam pendidikan, namun kenapa bersikap dan beraksi demikian?
Melihat fenomena yang ada, lalu salah siapa? Apakah salah pendidik sebelumnya? Sistemnya? Personalianya? Lingkungan sosialnya? Atau apanya? Kiranya banyak sekali factor yang menjadi penyebabnya.

Menilik hal yang telah terjadi, bisa saja kesalahan pada penddiknya terdahulu, yang mungkin ketika mengajar pernah menggunakan kekerasan, semisal menggebrak meja, memukul dan sebagainya. Hal ini bisa menjadi salah satu hal yang ditiru oleh peserta didiknya dikarenakan peserta didik lebih terkesan dengan cara pendidik itu memperlakukan peserta didiknya. Dalam hal ini bisa dari cara marah, cara mengajar atau gaya bahasa dalam penyampaian. Akan tetapi tidak sepenuhnya kesalahan dari pendidik itu sendiri.

Ketika menilik kepada sistemnya, kiranya sisdiknas (system pendidikan nasional) di Indonesia sangatlah bagus dan luar biasa. Bagaimana tidak? Bisa diperhatikan sisdiknas dalam UU RI No 20 Tahun 2003 yang berbunyi “ Pendidikan nasional berupaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”

Begitu indah bukan sisdiknas kita? Kiranya sulit untuk bisa disalahkan, dan justru akan menuai banyak cerca dari khalayak insan pendidikan Indonesia. Lalu salah apanya?
Apakah bisa disalahkan personalianya? Bisa jadi iya, dikarenakan latar belakang dari setiap personilnya berbeda-beda, tingkat kestabilan emosinya juga berbeda-beda sehingga sangat berpengaruh kepada tindakan yang dilakukannya. Biasanya personil yang memiliki lingkungan kurang perhatian, pergaulan yang urakan jua seenaknya sendiri yang menyebabkan meletupnya gejolak emosi seorang pendidik atau calon pendidik.

Dengan demikian apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi kejadian yang demikian. Kiranya akan lebih bijak jika dimulai dari diri sendiri, karena factor utama adalah diri sendiri, pengendalian diri dalam hal pengendalian emosi supaya tidak membabi buta. Ketika seorang personalia memasuki dalam lingkungan social yang lebih tinggi, baiknya mengikuti kebiasaan-kebiasaan social bijak yang telah ada.

Seperti dalam pesan sesepuh jawa yang mengatakan “yen ana rembug ya dirembug, yen ana gawean ya ditandangi bebarengan” memiliki maksud dan tujuan berupa pesan moral kepada kawula muda dan masarakat umumnya jika ada sesuatu permasalahan yang memang bisa diselesaikan dengan berunding dengan baik, maka lakukanlah, jika diperlukan sebuah tindakan ya lakukanlah dengan bijak. Kiranya begitu yang lebih bijaksana. Semua tetap kembali pada diri masing-masing bagaimana membawa diri ke dalam kehidupan sosialnya.